Kamis, 27 Desember 2012

THE ACT OF KILLING’ Mengapa Mereka Di Bunuh?



THE ACT OF KILLING’ Mengapa Mereka Di Bunuh?                                     

“Sebaik-baiknya Manusia Adalah Menjadi Manusia Yang Menghargai Hidup’
Agung Nugroho


Kajian mengenai pembunuhan massal 1965-1966 di Indonesia, bahkan kajian atas politik negara secara umum, akan mengalami perombakan dengan diluncurkannya film dokumenter The Act of Killing yang disutradarai Joshua Oppenheimer .
The Act of Killing berbeda dari berbagai film dokumenter dengan tema serupa yang selama ini pernah ada. Inilah film panjang pertama tentang pembunuhan massal 1965-1966 yang menampilkan para pelaku pembantaian, bukan korban atau simpatisan, sebagai tokoh utama, seperti dalam beberapa film dokumentar yang dibuat pasca reformasi seperti The Mass Greve dan Shadow Play serta banyak yang lainnya. Dalam film ini, mereka mantan tokoh organisasi paramiliter Pemuda Pancasila yang ikut membantai ratusan orang pengikut atau yang diduga komunis di Sumatra Utara, sebagai bagian dari pembantaian berlingkup nasional yang seluruhnya memakan hampir satu juta jiwa.
Selama ini berbagai film pasca 1998 mengenai pembunuhan massal 1965 atau dampak susulannya dibikin khusus untuk memberi suara bagi para penyintas (survivor) dan anggota keluarga mereka, terkadang disertai komentar simpatik dari narasumber ahli. Setahu saya paling sedikit sudah ada 16 judul film semacam itu, produksi anak bangsa, selain film asing dengan topik yang sama.
Berbagai film itu mengakhiri kebisuan di layar lebar di negara ini hampir seperempat abad. Beberapa perempuan lanjut usia dan ringkih muncul di sebagian besar film tersebut, berbicara dengan bersemangat tentang penderitaan tiada akhir yang mereka alami, serta mengutuk ketidakadilan dan kegagalan pemerintah untuk mengakui kebiadaban yang telah terjadi.
Berbagai film bertema 1965 selama ini disusun dengan pemilahan tegas antara pahlawan yang baik ibarat malaikat dan tokoh penjahat seperti setan. Mirip dengan film-film propaganda Orde Baru tentang kejahatan PKI. Dalam hal ini, The Act of Killing luar biasa dan sekaligus merisaukan, karena secara radikal menggugat paradigma hitam-lawan-putih yang selama ini berkuasa.
Lepas dari tayangan film dokumenter tersebut, sungguh bijaksana kalau kita meihat latar belakang sejarah mengapa mereka ( PKI ) dibunuh? Sebuah pertanyaan dari kita semua sebagai generasi muda untuk menuntut hak suatu jawaban yang jujur dan terbuka bagi kaum tua, agar sejarah kelam bangsa ini tidak terulang lagi dimasa yang akan datang 
Untuk mengerti mengapa Peristiwa pembantai massal 65 terjadi, sebelum kita memeriksa sebuah peristiwa  yang sering berkaitan dengan Peristiwa 65/66 yakni Gerakan 30 September atau G-30-S kita harus memeriksa latar balakang suasana politik di Indonesia pada dekade enam puluhan. Di samping itu, kita harus mengerti semua kejadian politik di Indonesia pada waktu itu dalam konteks internasional yaitu Perang Dingin.Ada banyak orang yang sudah berkata tentang segitiga kekuasaan di Indonesia pada waktu itu, terdiri dari Angkatan Darat Republik Indonesia, Partai Komunis Indonesia dan penyeimbangnya adalah Presiden Sukarno. Pandangan ini mengabaikan umat Islam yang sangat penting dan memang berperan dalam Peristiwa 65/66.
Tetapi, yang penting di suasana politik di Indonesia pada waktu itu adalah sikap Sukarno yang sangat anti-kolonialisme, anti-imperialisme dan semakin dianggap sebagai “kiri’. Politik negeri di bawah Sukarno bernama"bebas-aktif’ yang dimaksud adalah bahwa politik luar negri Indonesia pada waktu itu tidak mendukung Uni Soviet atau Amerika Serikat
dua pihak yang saling melawan dalam Perang Dingin, Indonesia di bawah Sukarno sudah pernah punya hubungan dengan Amerika Serikat dan sudah pernah diberi bantuan dari AS. Namun dimikian, pada dekade enam puluhan Indonesia lebih dekat Uni Soviet (yang membantu Indonesia melawan Belanda di Irian Jaya), lalu Cina.
Pada tanggal 1Januari, 1965,Sukarno mencabut keanggotaan Indonesia dari PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) dan mengatakan kalimat yang terkenal  "Go to hell America with your aid". Kemudian. Sukarno membuat AS marah lagi karena dia mengakui Front Pembebasan Nasional Vietnam Selatan atau "Viet Cong" dan menghentikan hubungan Indonesia dengan Saigon. Sukarno juga membuat marah suatu negara Barat lain di samping AS, yakni Inggris. Konfrontasi dengan Malaysia juga memberikan Inggris sebuah motif untuk Menyingkirkan Sukarno. Sebenamya, Sukarno membagi dunia sehabis Perang Dunia ke-2 menjadi negara-negara NEFO dan OLDEFO (atau New Emerging Forces dan Old Established Forces) adalah sangat tidak strategis untuk Inggris, tetapi lebih tidak strategis lagi untuk AS yang sedang berusaha menguasai seluruh dunia untuk tujuan-tujuan kapital global di bawah propaganda Perang Dingin.
Peristiwa 65/66 harus dimengerti dalam konteks internasional yaitu Perang Dingin. Walaupun barangkali orang Indonesia yang miskin atau orang biasa di desa mungkin tidak begitu tahu atau peduli tentang Perang Dingin itu, kalau tidak ada Perang Dingin waktu itu, pembantaian massal yang terjadi pada tahun 65/66 pasti tidak akan terjadi sampai jumlah sedemikian besar. Mengapa tidak? Sebelum Oktober 1965 ada keseimbangan kekuasaan di antara PKI dan musuh-musuhnya di Indonesia. Memang ada beberapa korban dari kedua belah pihak dan hal itu seperti biasa dalam sejarah Indonesia. Sampai Oktober 1965, secara umum, masih ada hukuman untuk orang-orang yang menjadi pembunuh. Tetapi, segalanya berbeda setelah pagi Tanggal 1Oktober. Saat itu, suatu proses dimulai oleh Soeharto yang berakibat tidak adanya hukuman lagi buat orang-orang yang membunuh PKI.
Sebenamya Soeharto dan orde baru mendorong pembunuhan PKI sampai ada suasana yang sangat sulit untuk banyak orang membuktikan bahwa mereka bukan PKI kecuali kalau mereka melawan PKI sendiri. Mengapa Soeharto melakukan ini? G-30-S merupakan propaganda yang sangat berhasil oleh Soeharto untuk menciptakan sebuah kambing hitam yang disalahkan untuk masalah-masalah terbesar dan perpecahan di masyarakat Indonesia. G-30-S memberikan Soeharto alasan untuk "membersihkan" kemudian menyatukan Angkatan Darat (AD), dan menyalahkan masalah-masalah ekonomi di Indonesia kepada PKI. Yang paling penting buat Soeharto G-30-S juga menjadi suatu alat untuk menyingkirkan Sukarno dari kekuasaan. Soeharto langsung memulai kampanye propaganda yang berpengaruh sekali dan memang dipenuhi dengan kebohongan terutama tentang apa yang terjadi di Lubang Buaya.
Sukarno tahu propaganda itu salah dan juga tahu PKI sebagai partai politik yang legal bukan dalang di balik G-30-S, dia secara benar tidak akan mengutuk PKI. Oleh karena itu, Sukarno digambarkan sebagai simpatisan PKI, dan di lingkungan yang diciptakan oleh Soeharto pada waktu itu, posisi Sukarno menjadi semakin lemah. Bagaimana Soeharto bisa melaksanakan proses tersebut? Ambisi-ambisi politik Soeharto sangat sesuai dengan ambisi-ambisi Perang Dingin AS, yaitu, menggeser Kaum Merah dari kekuasaan dengan cara apapun lebih baik dibunuh. Atau lebih tepat lagi, menggeser pemimpin atau partai politik siapapun yang tidak mematuhui perintah dari pemerintah AS dan lembaga-lembaga berkaitan seperti Bank Dunia dan Dana Keuangan Internasional waktu mereka berusaha menguasai seluruh dunia sehabis Perang Dunia ke-2 atas nama Demokrasi Liberal (atau Kapaitalisme Global). Jadi, walaupun Sukarno adalah pemimpin Nasionalis, bakan Komunis, dia dianggap sebagai Komunis oleh AS karena dia tidak bisa dikuasai.
Bagaimana AS bisa memanipulasi peristiwa-peristiwa di pihak lain dunia? Sebenamya yang dilakukan oleh AS dan Soeharto adalah untuk melegalkan dan mendorong musuh-musuh PKI di Indonesia untuk menghancurkan PKI tanpa dihukum. Sebenarnya, sebagian sebagian masyarakat Indonesia sendiri bertanggung jawab untuk pembantaian PKI. Di samping Angkatan Darat, juga ada organisasi Islam yang paling bertanggung jawab yaitu Pemuda Pancasila, Nadhatul Ulama dan kaum muda bersenjata namanya Ansor dan Banser, dan partai politik lain-lainnya. Jadi, dengan cara ini, ada koordinasi dari tiga tingkat untuk menghancurkanPKI, yaitu, tingkat internasional, tingkat nasional dan tingkat lokal, dan semua tingkat harus diteliti jika kita ingin mengerti bagaimana Peristiwa 65/66 bisa terjadi, dan memang betul, interaksi dari tiga tingkat tersebut menarik sekali. Tetapi, mengapa semua orang ini mau membunuh orang PKI semuanya yang setia kepada pemimpin Indonesia, yakni Sukarno? Kalau di tingkat lokal, terutama di Sumatra tindakan PKI berupa gerakan penghuni liar dan kampanye melawan bisnis asing di perkebunan-perkebunan di Sumatra memicu aksi balasan yang cepat terhadap orang-orang komunis. Di Aceh sebanyak 40.000 orang dibantai, dari sekitar 200.000 korban jiwa di seluruh Sumatra.  Pemberontakan kedaerahan pada akhir 1950-an semakin memperumit peristiwa di Sumatra karena banyak mantan pemberontak yang dipaksa untuk berafiliasi dengan organisasi-organisasi komunis untuk membuktikan kesetiaan mereka kepada Republik Indonesia. Berhentinya pemberontakan tahun 1950-an dan pembantaian tahun 1965 oleh kebanyakan masyarakat Sumatra dipandang sebagai "pendudukan suku Jawa".  Di Lampung, faktor lain dalam pembantaian itu nampaknya adalah imigrasi suku Jawa
 Jawa Timur, ada fenomena namanya "aksi sepihak". Apa itu"aksi sepihak"? Aksi sepihak itu biasanya dilaksanakan olehBTI (Barisan Tani Indonesia), sebuah organisasi tani yang berafiliasi kepada PKI. Kalau ada aksi sepihak banyak sekali orang tiba-tiba datang ke tanah atau sawah dan langsung menggarap tanah tersebut secara terpaksa, yaitu tanpa izin dan tanpa diketahui pemiliknya.
Sering kali, tanah yang menjadi sasaran dimiliki oleh Tuan-tanah yang Muslim dan santri atau AD. Mengapa PKI dan BTI berpendapat bahwa mereka punya hak untuk redistribusi tanah sendiri? Karena pada tahun 1960 ada undang-undang "land reform" dan sampai tahun 1963 UU tersebut masih belum dilaksanakan. "Aksi sepihak" merupakan suatu cara untuk memberi tekanan kepada birokrasi yang terlambat, sering kali karena ada banyak orang di birokrasi tersebut yang lebih suka status quo. Mungkin "aksi sepihak" itu faktor yang paling penting di tingkat lokal, dan menyebabkan konflik-konflik di tingkat lokal dianggap "konflik kelas" atau "konflik golongan". "Aksi sepihak" itu merupakan salah satu strategi PKI yang paling menakutkan dan membuat marah musuh-musuh PKI karena "golongan atas" atau Tuan-tuan tanah tersebut berpendapat bahwa "aksi sepihak" akan merugikannya. Akan tetapi, "konflik kelas" itu kurang cukup untuk menjelaskan konflik di tingkat lokal. Konflik tersebut bukan hitam-putih, dan sebetulnya sangat rumit.
 Ada banyak orang golongan bawah atau orang miskin yang melawan PKI dan BTI. Juga ada orang golongan masyarakat tertinggi yang mendukung PKI. Sering kali, konflik di desa waktu itu dienggap sebagai sebagai konflik agama, yaitu, konflik di antara orang Islam santri dan abangan. Kalau misalnya di Kediri, Jawa Timur, itu tempat yang pada waktu bersamaan punya banyak sekali anggota Nadhatul Ulama dan PKI juga. Kedua kelompok ini saling melawan sejak awalnya, tapi pada dewarsa enam puluhan "aksi sepihak" atau "land reform" dan serangan balasan oleh Tuan-tuan tanah Muslim pada tahun 1963-64 menjadi semakin keras dan dipenuhi dengan kebencian. Juga ada hubungan "patron-client", dan ini merumitkan tingkat lokal lagi. Sering kali, kesetiaan dari klien kepada patron membesarkan jumlah orang yang merasa takut karena "aksi sepihak". Misalnya, kalau buruh tani krasan dan sudah kerja lama untuk pemilik tanah, mungkin dia juga takut kalau pemilik baru tidak memperbolehkan dia kerja di situ lagi. Faktor ini juga menjelaskan bagaimana konflik bisa meledak di antara orang miskin sendiri tentang "land reform" pada waktu semuanya bukan pemilik tanah.
Konflik-konflik yang ada di tingkat lokal juga dilukiskan sebagai bukan konflik kelas
atau konflik agama, tetapi konflik di antara orang-orang yang mendukung "status-quo" dan
pendukung-pendukung perubahan radikal. Sering kali, terutama di Jawa Timur, tiga kategori
sejalan, misalnya seseorang adalah orang Muslim abangan, adalah orang golongan bawah atau bukan pemilik tanah dan juga mendukung perubahan radikal. Atau dengan kata lain, seseorang adalah pemilik tanah atau anggota kelas atas, juga orang Muslim santri, dan juga mendukung "status-quo". Yang penting, alasan-alasan untuk konflik yang spesifik berbeda-beda tergantung pada lokasi di Indonesia. Misalnya, aliran-aliran santri dan abangan pasti tidak penting di pulau Bali.
Setelah ledakan Gunung Agung pada tahun 1963 yang menhancurkan 62.000 hektar tanah produktifdi Bali ada banyak dukungan untuk kebijakan "land reform" yang mengusulkan 2 hektar sawah minimal untuk setiap rumah petani. Walaupun tidakada cukup tanah di Bali untuk meneapai keinginan tersebut, kemungkinan bahwa sedikit tanah diberikan kepada orang biasa dan buruh tani di Bali merupakan faktor penting untuk kesuksesan PKI dan BTI di Bali, dan memang betul, aksi sepihak dan konflik kelas merupakan alasan besar untuk pembantaian massal di Bali pada tahun'65/'66 setelah G-30-S. "Sebenamya, tingkat kekerasan setelah G-30-S di Bali temyata seimbang dengan sukses dan radikalisme kampanye land reform dua tahun sebelumnya".
Konflik di tingkat kabupaten dan desa sangat berbeda dari konflik di tingkat nasional dan terutama tingkat internasional, tetapi masih sangat berkaitan. Perjuangan di desa yang sangat menakutkan kekuasaan-kekuasaan yang ada di desa juga memberi kekuasaan kepada
PKI di Jakarta dan jangan lupa PKI adalah partai Komunis yang paling besar di seluruh dunia
selain partai Komunis Rusia dan Cina. Di dalam konteks nasional di Indonesia, Sukarno mencoba menguasai keseimbangan kekuasaan pada situasi politik di Indonesia di antara Partai Nasionalis Indonesia (PNI), PKI dan Islam diwakili oleh Nadhatul Ulama (NU) melalui kebijakan NASAKOM (nasionalisme, agama dan komunisme) tetapi yang penting adalah AD menolak secara keras percobaan Sukarno untuk membuat AD sebagian NASAKOMIL (yaitu nasionalisme, agama, komunisme dan militer).
karena tindakan ini oleh militer menunjukan secara jelas jumlah kekuasaan yang dimiliki oleh militerwaktu itu. Sukarno bisa memasukkan semua lembaga politik yang berkuasa di Indonesia dalam satu lembaga dan menguasai mereka dan mendorong mereka
untuk bekerja sama - semuanya kecuali lembaga yang paling berkuasa, yaitu militer. Dan
kemandirian militer strategis sekali karena waktu G-30-S terjadi, militer siap untuk menindak
sendiri, tanpa memperhatikan keinginan Sukarno. Dalam konteks internasional, konferensi Asia-Afrika dan Gerakan Non-Blok, "konfrontasi" dengan Malaysia (yang dilawan oleh AD) dan penarikan Indonesia dari PBB dan sikap Sukarno kepada AS secara umum menyebabkan pemberhentian berangsur-angsur bantuan finansial dari AS ke Indonesia pada tahun 1962 sampai 1965. Walaupun demikian, bantuan dari AS kepada militer Indonesia dinaikkan, sama dengan jumlah perwira dilatih di AS  juga dinaikkan dari 500 sampai tahun 1962 ke 4000 sampai tahun 1965.
Mengapa AS mau melatih militer dari negara yang punya hubungan yang semakin buruk dengan mereka? Mungkin mereka sudah tahu ada sesuatu akan terjadi...Hal ini tidak harus mengherankan kita kalau kita lihat bagaimana AS campur tangan dengan urusan-urusan banyak negara di seluruh dunia. Hal ini tidak harus mengherankan kita lagi kalau kita mengingat bahwa ada banyak gosip/isu pada waktu itu yang mengatakan bahwa Sukarno sakit dan semakin lemah. Kalau kita memikir secara logika tentang hal tersebut, itu memang luar biasa kalau militer Indonesia lembaga yang paling berkuasa di Indonesia dan pemerintah AS  lembaga yang paling berkuasa di seluruh dunia  tidak mempunyai suatu rencana untuk mengambil kekuasaan di Indonesia kalau Sukarno meninggal dunia atau kesempatan lain terjadi. Dan kita jangan lupa, AS dalam rupanya CIA sudah campur tangan dalam urusan Indonesia sebelum tahun 1965. CIA menyalahgunakan konflik antara pemerintah Sukarno dan gerakan-gerakan di Sumatera dan Sulawesi Utara untuk mendukung pemberontakan PRRI/Permesta pada tahun 1957/58. Dan sebelum itu, waktu ada pemilihan umum pada tahun 1955, CIA memberi sejuta dolar AS kepada partai yang paling anti Komunis yakni Masyumi.
            Akhir Sebuah Propaganda? Entah apa persisnya yang ingin dicapai para protagonis film ini. Di layar, mereka mengaku hanya ingin menyampaikan kebenaran sejarah apa adanya kepada seluruh dunia, tidak hanya Indonesia. Pengakuan semacam ini mudah menjadikan mantan para pembunuh ini sebagai pahlawan, seperti diltampilkan dalam sebuah acara talk-show di TVRI lokal (dan tampil dalam The Act of Killing).
Oppenheimer tidak memberikan kesempatan kepada para pembunuh itu untuk menobatkan-diri sebagai pahlawan. Namun, dia juga tidak menampilkan mereka sebagai orang-orang yang bodoh atau momok. Dalam salah satu adegan yang tampaknya keluar dari naskah, salah seorang preman senior yang terkenal kejam dan senang membanggakan diri, mendadak ambruk karena tak mampu menahan emosi atau rasa bersalah, di saat dilakukan pengambilan gambar dan dia berperan sebagai seorang tahanan komunis yang dulu pernah disiksanya sebelum dibunuh.
Propaganda resmi tentang “G30S/PKI” berusia lebih panjang ketimbang rezim Orde Baru yang menciptakannya. The Act of Killing membuka peluang memudar propaganda yang selama ini dikeramatkan negara. Ini bisa terjadi, jika salinan film dokumenter ini tersedia dan dijangkau jutaan penonton Indonesia melalui youtube yang bisa diakses di warnet atau ponsel pintar di tanah air, salah satu pengguna Facebook terbesar di dunia dan pasar terbesar DVD bajakan.
Terakhir, sebuah kalimat yang harus saya ulang kembali untuk mengembalikan memori kita, agar tidak terjangkit virus lupa, apatis dan teraleanasi oleh suatu kebenaran sejarah, mengganggap diri kita generasi yang humanis tetapi melupakan peristiwa 65 dimana keadilan tidak ditempatkan pada tempatnya. “Sebuah pertanyaan dari kita semua sebagai generasi muda untuk menuntut hak suatu jawaban yang jujur dan terbuka bagi kaum tua, agar sejarah kelam bangsa ini tidak terulang lagi dimasa yang akan datang’. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar