Kamis, 27 Desember 2012

TEORI KONFLIK



TEORI KONFLIK
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat. Fenomena sosial dalam masyarakat banyak ragamnya kadangkala fenomena sosial berkembang menjadi suatu masalah sosial akibat perbedaan cara pandang mengenai Fenomena tersebut. Dalam menyelesaikan masalah sosial dibutuhkan suatu teori untuk menyelesaikannya. Teori- teori tersebut lahir dari pengalaman- pengalaman yang terjadi dalam kehidupan sehari- hari. Karena setiap individu mengalami pengalaman yang berbeda maka teori yang muncul juga akan berbeda antara satu individu dengan individu lainnya. Disimpulkan bahwa tidak ada teori yang dapat menyeluruh membahas mengenai masalah sosial di masyarakat.
Di zaman modern ini, orang dengan berbagai aktivitas dan kepentingan silih berganti, kadang dapat membuat seorang individu atau suatu kelompok mengalami disjungsi atau persinggungan dengan individu atau kelompok yang lain yang akan mengakibatkan konflik. Konflik yang berkepanjangan kadang dapat memperburuk tatanan sosial masyarakat. Namun, konflik juga berperan positif dalam memperkuat persatuan dan menghilangkan konflik intern dalam suatu kelompok. Konflik dimanapun bentuknya merupakan sesuatu yang wajar terjadi. Konflik senantiasa ada dalam setiap sistem sosial. Dapat dikatakan konflik merupakan suatu ciri dari sistem sosial.
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.
Teori konflik yang muncul pada abad  ke sembilan belas dan dua puluh dapat dimengerti sebagai respon dari lahirnya dual revolution, yaitu demokratisasi dan industrialisasi, sehingga kemunculan sosiologi konflik modern, di Amerika khususnya, merupakan pengikutan, atau akibat dari, realitas konflik dalam masyarakat Amerika. Selain itu teori sosiologi konflik adalah alternatif dari ketidakpuasaan terhadap analisis fungsionalisme struktural Talcot Parsons dan Robert K. Merton, yang menilai masyarakat dengan paham konsensus dan integralistiknya. Teoritisi konflik melihat masyarakat sebagai berada dalam konflik yang terus menerus diantara kelompok dan kelas, sekalipun Marx memusatkan perhatiannya pada pertentangan antar kelas. Untuk pemilikan atas kenyataan yang produktif, para teoritisi konflik modern berpandangan sedikit lebih sempit. Mereka melihat perjuangan meraih kekuasaan penghasilan sebagai suatu proses yang berkesinambungan terkecuali satu hal dimana orang-orang muncul sebagai penantang kelas, bangsa, kewarganegaraan dan bahkan jenis kelamin.
Selain itu teori sosiologi konflik adalah alternatif dari ketidakpuasaan terhadap analisis fungsionalisme struktural Talcot Parsons dan Robert K. Merton, yang menilai masyarakat dengan paham konsensus dan integralistiknya.
Perspektif konflik dapat dilacak melalui pemikiran tokoh-tokoh klasik seperti Karl Marx (1818-1883), Emile Durkheim (1879-1912), Max Weber (1864-1920), sampai George Simmel (1858-1918).
Keempat pemikiran ini memberi kontribusi sangat besar terhadap perkembangan analisis konflik kontemporer. Satu pemikiran besar lainnya, yaitu Ibnu Khouldoun sesungguhnya juga berkontribusi terhadap teori konflik. Teori konflik Kholdun bahkan merupakan satu analisis komprehensif mengenai horisontal dan vertikal konflik.Proposisi ini dipaparkan dalam rangka untuk memahami dinamika yang terjadi di dalam masyarakat.
Dengan adanya perbedaan kekuasaan dan sumber daya alam yang langka dapat membangkitkan pertikaian (konflik) di masyarakat. Kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda dalam system sosial akan saling mengajar tujuan yang berbeda dan saling bertanding. Hal ini sesuai dengan pandangan Lock Wood, bahwa kekuatan–kekuatan yang saling berlomba dalam mengejar kepentingannya akan melahirkan mekanisme ketidakteraturan sosial (social disorder). Para teoritis konflik memandang suatu masyarakat terikat bersama adalah kekuatan kelompok atau kelas yang dominan. Para fungsionalis menganggap nilai-nilai bersama (consensus) sebagai suatu ikatan pemersatu, sedangkan bagi teoritis konflik, konsensus itu merupakan ciptaan dari kelompok atau kelas dominan untuk memaksakan,nilai-nila.
Teori konflik merupakan sebuah pendekatan umum terhadap keseluruhan lahan sosiologi dan merupakan toeri dalam paradigma fakta sosial. Mempunyai bermacam-macam landasan seperti teori Marxian dan Simmel. Kontribusi pokok dari teori Marxian adalah memberi jalan keluar terjadinya konflik pada kelas pekerja. Sedangkan Simmel berpendapat bahwa kekuasaan otoritas atau pengaruh merupakan sifat kepribadian individu yang bisa menyebabkan terjadinya konflik.
Ketegangan hubungan produksi dalam sistem produksi kapitalis antara kelas borjuis dan proletar mendorong terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan hubungan produksi terjadi ketika kelas proletar telah sadar akan eksploitasi borjuis terhadap mereka. Sampai pada tahap ini Marx adalah seorang yang sangat yakin terhadap perubahan sosial radikal, tetapi lepas dari moral Marx, esensi akademiknya adalah realitas kekuasaan kelas terhadap kelas lain yang lemah, konflik antar kelas karena adanya eksploitasi itu, dan suatu perubahan sosial melalui perjuangan kelas, dialektika material, yang sarat konflik dan determinisme ekonomi. Pemikiran ini nantinya sangat berpengaruh dan berkembang sebagai aliran Marxis, neoMarxis, madzab Kritis Frankurt, dan aliran-aliran konflik lainnya.
Tindakan afektif individu didominasi oleh sisi emosional, dan tindakan tradisional adalah tindakan pada suatu kebiasaan yang dijunjung tinggi, sebagai sistem nilai yang diwariskan dan dipelihara bersama. Stratifikasi tidak hanya dibentuk oleh ekonomi melainkan juga prestige (status), dan power (kekuasaan/politik). Konflik muncul terutama dalam wilayah politik yang dalam kelompok sosial adalah kelompok-kelompok kekuasaan, seperti partai politik.
Pokok pikiran Durkheim adalah fakta sosial, Giddens merinci dua makna yang saling berkaitan, dimana fakta-fakta sosial merupakan hal yang eksternal bagi individu. Pertama-tama tiap orang dilahirkan dalam masyarakat yang terus berkembang dan yang telah mempunyai suatu organisasi atau strutur yang pasti serta yang mempengaruhi kepribadiannya. Kedua fakta-fakta sosial merupakan ‘hal yang berada di luar’ bagi seseorang dalam arti bahwa setiap individu manapun, hanyalah merupakan suatu unsur tunggal dari totalitas pola hubungan yang membentuk masyarakat (Giddens, 1986: 108).
Perkembangan ilmu sosial kemudian memperoleh kesempurnaannya setelah tradisi pemikiran Eropa melahirkan determinisme ekonomi atau pertentangan kelas dari Marx, teori teori tindakan dan stratifikasi sosial Weber, dan Fakta sosial dari Durkheim.
Teori konflik sebagian berkembang sebagai reaksi sebagi fungsionalisme struktural dan akibat berbagai kritik. Teori konflik ini berasal dari Simmel. Pada 1950-an dan 1960-an, teori konflik menyediakan alternatif terhadap fungsionalime struktural, tetapi dalam beberapa tahun terakhir telah digantikan oleh berbagai macam teori neo-Marxian. Salah satu kontribusi utama teori konflik adalah meletakkan landasan untuk teori-teori yang lebih memanfaatkan pemikiran Marx. Masalah mendasar dalam teori konflik adalah teori itu tak pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar struktural-fungsionalnya. Teori ini lebih merupakan sejenis fungsinalisme struktural yang angkuh ketimbang teori yang benar-benar berpandangan kritis terhadap masyarakatnya.
2.      Karya Ralf Dahrendorf
Seperti fungsionalis, ahli teori konflik beriorientasi ke studi struktur dan intitusi sosial. Sedikit sekali pemikiran teori ini yang berlawanan secara langsung dengan pendirian fungsionalis. Antitesis terbaiknya ditunjukkan oleh karya Dahrendorf, pendirian teori konflik dan teori fungsional disejajarkan. Dahrendorf adalah tokoh utama yang berpendirian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah (konflik dan konsensus) dan karena itu teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian: teori konflik dan teori konsesus. Teoritisi konsesus harus menguji nilai integrasi dalam masyarakat dan teoritisi konflik harus menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama di hadapan tekanan itu. Dahrendorf mengakui bahwa masyarakat takkan ada tanpa konsesus dan konflik yang menjadi persyaratan satu sama lain. Jadi, kita tak akan punya konflik kecuali ada konsesus sebelumnya.
Otoritas. Dahrendorf memusatkan perhatian pada struktur sosial yang lebih luas. Inti tesisnya adalah gagasan bahwa berbagai posisi di dalam masyarakat mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Otoritas tidak terletak di dalam diri individu, teapi di dalam posisi. Dahrendorf tak hanya tertarik pada struktur posisi, tetapi juga pada konflik antara berbagai struktur posisi itu: ”sumber struktur konflik harus di cari di dalam tatanan peran sosial yang berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan”. Menurut Dahrendorf, tugas pertama analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas di dalam masyarakat. Karena memusatkan perhatian kepada struktur berskala luas seperti peran otorita itu, Dahrendorf ditentang para peneliti yang memusatkan perhatian pada tingkat individual. Misalnya, ia dikritik oleh orang yang memusatkan perhatian pada ciri-cirri psikologi individu yang menempati posisi itu. Tetapi, menurut Dahrendorf, orang yang melakukan pendekatan demikian bukanlah sosiolog.
Kelompok, Konflik dan Perubahan. Selanjutnya Dahrendorf membedakan tiga tipe utama kelompok. Pertama adalah kelompok semu (quasi group) atau sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama”. Kelompok semu ini adalah calon anggota tipe kedua, yakni kelompok kepentingan. Kedua kelompok ini dilukiskan oleh Dahrendorf seperti berikut:
Metode perilaku yang sama adalah karateristik dari kelompok kepentingan yang direkrut dari kelompok semu yang lebih besar. Kelompok kepentingan adalah kelompok dalam pengertian sosiologi yang ketat; dan kelompok ini adalah agen rill dari konflik kelompok. Kelompok ini mempunyai struktur, bentuk organisasi, tujuan atau program dan anggota perorangan (Dahrendorf, 1959:180).
Dari berbagai jenis kelompok kepentingan itulah muncul kelompok konflik atau kelompok yang  terlibat dalam konflik aktual. Singkatnya Dahrendorf  menyatakan bahwa segera setelah kelompok konflik muncul, kelompok itu melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan dalam struktur sosial. Bila konflik itu hebat, perubahan yang terjadi adalah radikal. Bila konflik disertai tindakan kekerasan, akan terjadi perubahan struktur secara tiba-tiba. Apa pun ciri konflik, sosiologi harus membiasakan diri dengan hubungan antara konflik dan perubahan maupun dengan hubungan antara konflik dan status quo.

3.      Kritik Utama dan Upaya untuk Menghadapinya
Teori konflik telah dikritik dengan berbagai alasan. Misalnya, teori ini diserang karena mengabaikan ketertiban dan stabilitas, sedangkan fungsionalisme struktural diserang karena mengabaikan konflik dan perubahan. Teori konflik juga dikritik karena berideologi radikal, sedangkan fungsionalisme dikritik karena ideologi konservatifnya. Bila dibandingkan dengan fungsionalisme struktural, teori konflik tergolong tertinggal perkembangannya. Teori ini hampir tidak secanggih fungsionalisme, mungkin karena merupakan teori turunan.
Teori konflik Dahrendorf menjadi subjek dari sejumlah analisis kritis, termasuk pemikiran kritis oleh Dahrendorf sendiri. Hasil analisis kritis itu sebagai berikut: Pertama, model Dahrendorf tak secara jelas mencerminkan pemikiran Marxian seperti yang ia nyatakan. Seperti segera akan terlihat, sebenarnya teori konflik ini merupakan terjemahan tidak memadai dari teori Marxian ke dalam sosiologi. Kedua, seperti yang telah dicatat, teori konflik lebih banyak kesamaannya dengan teori fungsionalisme struktural ketimbang dengan teori Marxian. Penekanan Dahrendorf pada hal-hal seperti sistem (asosiasi yang dikoordinasikan secara paksa), posisi peran, secara langsung mengaitkannya dengan fungsionalisme  struktural. Akibatnya, teori menderita kekurangan yang sama dengan fungsinalisme struktural. Misalnya, konflik tampak muncul secara misterius dari sebuah sistem yang sah (sebagimana dalam fungsinalisme struktural). Selanjutnya, teori konflik menderita berbagai maslah konseptual dan logika seperti yang dialami fungsionalisme struktur (misalnya, konsep yang samar-samar tautologi) (Turner, 7975, 1982). Ketiga, seperti fungsinalisme struktural, teori konflik hampir selurunya bersifat makroskopik dan akibatnya sedikit sekali ditawarkan kepada kita untuk memahami pemikiran dan tindakan individu.
Dalam memahami semua gagasan konflik dapat dirangkum dalam beberapa point yaitu (Dahrendorf):
1.      Semakin sedikit kondisi teknikal, sosial, dan politik dari organisasi, semakin hebat konflik yang terjadi.
2.      Semakin sedikit mobilitas antara kelompok yang memiliki otoritas, semakin hebat konflik akan terjadi.
3.      Semakin sedikit kondisi teknikal. sosial, dan politik dari organisasi, semakin hebat kekerasan akan terjadi.
4.      Semakin kecil kemampuan kelompok-kelompok konflik mengembangkan kesepakatan terkait dengan pengaturan, semakin besar kekerasan akan terjadi.
5.      Semakin hebat konflik, semakin akan terjadi reorganisasi dan perubahan structural.
6.      Semakin banyak kekerasan ada di konflik, semakin besar tingkatan reorganisasi dan perubahan struktural (lihat juga dalam George Ritzer).

4.      Teori Konflik yang Lebih Integratif
Tokoh utama dalam upaya membangun teori konflik yang lebih sintesis dan integratif adalah Randall Collins. Conflict sociology karya Collins (1975) sangat integratif karena jauh lebih beriorentasi mikro ketimbang teori konflik makro Dahrendorf dan yang lainnya. Mengenai karya awalnya ini, Collins mengatakan ”Kontribusi utama untuk teori konflik adalah menambah analisis tingkat mikro terhadap teori yang bertingkat makro ini. Saya terutama mencoba menunjukkan bahwa stratifikasi dan organisasi didasarkan atas interaksi kehidupan sehari-hari.
Stratifikasi Sosial. Collins memilih memusatkan perhatian pada stratifikasi sosial secara stratifikasi sosial adalah instuisi yang menyentuh begitu banyak ciri kehidupan, seperti “kekayaan, politik, karier, keluarga, klub, komunitas, gaya hidup” (1975:49). Menurut Collins teori-teori besar telah “gagal” menerangkan stratifikasi sosial. Teori besar yang dimaksud Collins adalah teori fungsionalisme struktural dan marxian. Dia mengkritik teori Marxian,  misalnya dengan menyatakannya sebagai “penjelasan monokausal untuk kehidupan multikausal” (Collins, 1975:49). Ia memandang teori Weber sebagai “antisistem”. Teori Weber berguna bagi Collins, tetapi “upaya sosiologi fenomenologi untuk melandasi semua konsep yang digunakan mengamati kehidupan sehari-hari” (Collins, 1975:53) adalah sangat penting bagi Collins karena sasaran utamanya dalam studi stratifikasi sosial adalah berskala kecil. Menurut pandangannya, stratifikasi sosial, seperti semua struktur sosial lainnya, dapat dikurangi ke tingkat individuasl dalam kehidupan sehari-hari yang saling berinteraksi menurut cara yang terpola.
Teori Stratifikasi Konflik. Dengan latar belakang di atas, Collins kembali ke pendekatan konflik stratifikasinya sendiri yang lebih banyak kesamaannya dengan teori fenomenologi dan etnometodologi ketimbang dengan teori Marxian dan Weberian. Collins bertolak dari beberapa asumsi. Orang dipandang mempnyai sifat sosial (sociable), tetapi juga terutama mudah berkonflik dalam hubungan sosial mereka. Konflik mungkin terjadi dalam hubungan sosial karena “penggunaan kekerasan” yang selalu dapat dipakai seseorang atau banyak orang dalam lingkungan pergaulan. Collins yakin bahwa orang berupaya untuk memaksimalkan “status subjektif” mereka dan kemampuan untuk berbuat demikian tergantung pada sumber daya mereka maupun sumber daya orang lain dengan siapa mereka berurusan. Ia melihat orang mempunyai kepentingan sendiri-sendiri; jadi benturan mungkin terjadi karena kepentingan-kepentingan itu pada dasarnya saling bertentangan.
Pendekatan konflik terhadap strafikasi dapat diurunkan menjadi tiga prinsip. Pertama, Collins yakin bahwa orang hidup dalam dunia subjektif yang dibangun sendiri. Kedua, orang lain mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengontrol pengalaman subjektif seorang individu. Ketiga, orang lain sering mencoba mengontrol orang yang menentang mereka. Akbiatnya adalah kemungkinan terjadinya konflik individu.
Berdasarkan penelitian ini, Collins mengembankan lima prinsip analisis konflik yang diterapkan terhadap stratifikasi sosial, meski ia yakin bahwa kelima prinsip itu dapat diterapkan di setiap bidang kehidupan sosial.
Pertama, Collins yakin bahwa teori konflik harus memusatkan perhatian pada kehidupan nyata ketimbang pada formulasi abstrak. Kedua, Collins yakin bahwa teori konflik stratifikasi harus meneliti dengan seksama susunan material yang mempengaruhi interaksi. Ketiga, Collins menyatakan bahwa dalam situasi ketimpangan, kelompok yang mengendalikansumber daya kemungkinan akan mencoba mengekploitasi kelompok yang sumber dayanya terbatas. Keempat, Collins menginginkan teoritisi konflik melihat fenomena kultral seperti keyakinan dan gagasan dari sudut pandang kepentingan, sumber daya dan kekuasaan. Kelima, Collins membuat komitmen tegas untuk melakukan studi ilmiah tentang stratifikasi dan setiap aspek kehidupan sosial lainnya.
Komitmen ilmiah ini mendorong Collins mengembangkan serangkaian proposisi mengenai hubungan antara konflik dan berbagai aspek khusus kehidupan sosial. Hanya beberapa proposisi saja yang disajikan disini, namun diharapkan dapat membantu dalam memahami tipe sosiologi konflik Collins.
·         Pengalaman meberikan dan menerima perintah adalah faktor yang menentukan pandangan dan tindakan individu.
·         Makin sering orang memberikan perintah, dia akan makin bangga, makin percaya diri, makin formal dan makin mengidentifikasikan dirinya dengan cita-cita organisasi dan dengan mengatasnamakan organisasi dia menjustifiaksi perintahnya itu.
·          Makin sering orang menerima perintah, maka ia makin patuh, makin fatalisits, makin terasing dari cita-cita organisasi, makin menyesuaikan diri secara eksternal, makin mencurigai orang lain, makin memikirkan imbalan ekstrinsik, dan amoral.
(Collins, 1975: 73-74)
Semua proposi mencerminkan komitmen Collns untuk melakukan studi ilmiah tentang menifestasi sosial bersakala kecil dari konflik sosial.
Domain sosial lainnya. Collins tidak puas menganalisis konflik di dalam sistem stratifikasi saja, tetapi memperluasnya ke berbagai bidang sosial lainnya. Misalnya, ia memperluas analisis stratifikasi ke hubungan antara jenis kelamin yang berbeda dan antara kelompok umur. Ia berpandangan bahwa keluarga adalah sebuah arena konflik perbedaan kelamin di mana lelaki menjadi pemenang dengan akibat wanita didominasi oleh lelaki dan tunduk pada berbagai jenis perlakuan yang tidak adil. Begitu pula, Collins melihat hubungan antara kelompok umur khususnya antara yang muda dan yang tua sebagai arena konflik.
Ringkasnya, seperti Dahrendorf, Collins bukan merupakan eksponen sejati teori konflik Marxian, meski dengan alasan yang berbeda. Meski Collins menggunakan pemikiran Marx sebagai titik tolak, namun pikiran Weber, Durkheim dan terutama etnometodologi lebih besar pengaruhnya terhadap karyanya. Orientasi skala kecil Collins adalah awal yang membantu menuju pengembangan teori konflik yang lebih integratif. Tetapi, meskipun dia menginginkan teori berskala besar dan berskala lengkap, namun dia tak menyelesaikan tugasnya itu secara lengkap.











DAFTAR PUSTAKA

Ritzer, George dan Goodman, J. Douglas.  2007.
Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media Group.
Wulan, Sari. Dewi 2009.
Sosiologi dan Konsep Teori.  Jakarta : Refika Aditama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar