TEORI
KONFLIK
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
tentang fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat. Fenomena sosial dalam
masyarakat banyak ragamnya kadangkala fenomena sosial berkembang menjadi suatu
masalah sosial akibat perbedaan cara pandang mengenai Fenomena tersebut. Dalam
menyelesaikan masalah sosial dibutuhkan suatu teori untuk menyelesaikannya.
Teori- teori tersebut lahir dari pengalaman- pengalaman yang terjadi dalam
kehidupan sehari- hari. Karena setiap individu mengalami pengalaman yang
berbeda maka teori yang muncul juga akan berbeda antara satu individu dengan
individu lainnya. Disimpulkan bahwa tidak ada teori yang dapat menyeluruh
membahas mengenai masalah sosial di masyarakat.
Di zaman modern ini, orang dengan berbagai
aktivitas dan kepentingan silih berganti, kadang dapat membuat seorang individu
atau suatu kelompok mengalami disjungsi atau persinggungan dengan individu atau
kelompok yang lain yang akan mengakibatkan konflik. Konflik yang berkepanjangan
kadang dapat memperburuk tatanan sosial masyarakat. Namun, konflik juga
berperan positif dalam memperkuat persatuan dan menghilangkan konflik intern
dalam suatu kelompok. Konflik dimanapun bentuknya merupakan sesuatu yang wajar
terjadi. Konflik senantiasa ada dalam setiap sistem sosial. Dapat dikatakan
konflik merupakan suatu ciri dari sistem sosial.
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang
berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu
proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah
satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya.
Teori konflik yang muncul pada abad
ke sembilan belas dan dua puluh dapat dimengerti sebagai respon dari
lahirnya dual revolution, yaitu demokratisasi dan industrialisasi,
sehingga kemunculan sosiologi konflik modern, di Amerika khususnya, merupakan
pengikutan, atau akibat dari, realitas konflik dalam masyarakat Amerika. Selain
itu teori sosiologi konflik adalah alternatif dari ketidakpuasaan terhadap
analisis fungsionalisme struktural Talcot Parsons dan Robert K. Merton, yang
menilai masyarakat dengan paham konsensus dan integralistiknya. Teoritisi
konflik melihat masyarakat sebagai berada dalam konflik yang terus menerus
diantara kelompok dan kelas, sekalipun Marx memusatkan perhatiannya pada
pertentangan antar kelas. Untuk pemilikan atas kenyataan yang produktif, para
teoritisi konflik modern berpandangan sedikit lebih sempit. Mereka melihat
perjuangan meraih kekuasaan penghasilan sebagai suatu proses yang
berkesinambungan terkecuali satu hal dimana orang-orang muncul sebagai
penantang kelas, bangsa, kewarganegaraan dan bahkan jenis kelamin.
Selain itu teori sosiologi konflik adalah
alternatif dari ketidakpuasaan terhadap analisis fungsionalisme struktural
Talcot Parsons dan Robert K. Merton, yang menilai masyarakat dengan paham
konsensus dan integralistiknya.
Perspektif konflik dapat dilacak melalui
pemikiran tokoh-tokoh klasik seperti Karl
Marx (1818-1883), Emile Durkheim (1879-1912), Max Weber (1864-1920), sampai
George Simmel (1858-1918).
Keempat pemikiran ini memberi kontribusi
sangat besar terhadap perkembangan analisis konflik kontemporer. Satu pemikiran
besar lainnya, yaitu Ibnu Khouldoun sesungguhnya juga berkontribusi terhadap
teori konflik. Teori konflik Kholdun bahkan merupakan satu analisis
komprehensif mengenai horisontal dan vertikal konflik.Proposisi ini dipaparkan
dalam rangka untuk memahami dinamika yang terjadi di dalam masyarakat.
Dengan adanya perbedaan kekuasaan dan sumber
daya alam yang langka dapat membangkitkan pertikaian (konflik) di masyarakat.
Kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda dalam system sosial akan saling
mengajar tujuan yang berbeda dan saling bertanding. Hal ini sesuai dengan
pandangan Lock Wood, bahwa kekuatan–kekuatan yang saling berlomba dalam
mengejar kepentingannya akan melahirkan mekanisme ketidakteraturan sosial (social
disorder). Para teoritis konflik memandang suatu masyarakat terikat bersama
adalah kekuatan kelompok atau kelas yang dominan. Para fungsionalis menganggap
nilai-nilai bersama (consensus) sebagai suatu ikatan pemersatu, sedangkan bagi
teoritis konflik, konsensus itu merupakan ciptaan dari kelompok atau kelas
dominan untuk memaksakan,nilai-nila.
Teori konflik merupakan sebuah pendekatan
umum terhadap keseluruhan lahan sosiologi dan merupakan toeri dalam paradigma
fakta sosial. Mempunyai bermacam-macam landasan seperti teori Marxian dan
Simmel. Kontribusi pokok dari teori Marxian adalah memberi jalan keluar
terjadinya konflik pada kelas pekerja. Sedangkan Simmel berpendapat bahwa
kekuasaan otoritas atau pengaruh merupakan sifat kepribadian individu yang bisa
menyebabkan terjadinya konflik.
Ketegangan hubungan produksi dalam sistem
produksi kapitalis antara kelas borjuis dan proletar mendorong terbentuknya
gerakan sosial besar, yaitu revolusi. Ketegangan hubungan produksi terjadi
ketika kelas proletar telah sadar akan eksploitasi borjuis terhadap mereka.
Sampai pada tahap ini Marx adalah seorang yang sangat yakin terhadap perubahan
sosial radikal, tetapi lepas dari moral Marx, esensi akademiknya adalah
realitas kekuasaan kelas terhadap kelas lain yang lemah, konflik antar kelas
karena adanya eksploitasi itu, dan suatu perubahan sosial melalui perjuangan
kelas, dialektika material, yang sarat konflik dan determinisme ekonomi.
Pemikiran ini nantinya sangat berpengaruh dan berkembang sebagai aliran Marxis,
neoMarxis, madzab Kritis Frankurt, dan aliran-aliran konflik lainnya.
Tindakan afektif individu didominasi oleh
sisi emosional, dan tindakan tradisional adalah tindakan pada suatu kebiasaan
yang dijunjung tinggi, sebagai sistem nilai yang diwariskan dan dipelihara
bersama. Stratifikasi tidak hanya dibentuk oleh ekonomi melainkan juga prestige
(status), dan power (kekuasaan/politik). Konflik muncul terutama dalam
wilayah politik yang dalam kelompok sosial adalah kelompok-kelompok kekuasaan,
seperti partai politik.
Pokok pikiran Durkheim adalah fakta sosial,
Giddens merinci dua makna yang saling berkaitan, dimana fakta-fakta sosial
merupakan hal yang eksternal bagi individu. Pertama-tama tiap orang dilahirkan
dalam masyarakat yang terus berkembang dan yang telah mempunyai suatu
organisasi atau strutur yang pasti serta yang mempengaruhi kepribadiannya.
Kedua fakta-fakta sosial merupakan ‘hal yang berada di luar’ bagi seseorang
dalam arti bahwa setiap individu manapun, hanyalah merupakan suatu unsur
tunggal dari totalitas pola hubungan yang membentuk masyarakat (Giddens, 1986:
108).
Perkembangan ilmu sosial kemudian memperoleh
kesempurnaannya setelah tradisi pemikiran Eropa melahirkan determinisme ekonomi
atau pertentangan kelas dari Marx, teori teori tindakan dan stratifikasi sosial
Weber, dan Fakta sosial dari Durkheim.
Teori konflik sebagian berkembang
sebagai reaksi sebagi fungsionalisme struktural dan akibat berbagai kritik.
Teori konflik ini berasal dari Simmel. Pada 1950-an dan 1960-an, teori konflik
menyediakan alternatif terhadap fungsionalime struktural, tetapi dalam beberapa
tahun terakhir telah digantikan oleh berbagai macam teori neo-Marxian. Salah
satu kontribusi utama teori konflik adalah meletakkan landasan untuk
teori-teori yang lebih memanfaatkan pemikiran Marx. Masalah mendasar dalam
teori konflik adalah teori itu tak pernah berhasil memisahkan dirinya dari akar
struktural-fungsionalnya. Teori ini lebih merupakan sejenis fungsinalisme
struktural yang angkuh ketimbang teori yang benar-benar berpandangan kritis
terhadap masyarakatnya.
2. Karya Ralf Dahrendorf
Seperti fungsionalis, ahli teori
konflik beriorientasi ke studi struktur dan intitusi sosial. Sedikit sekali
pemikiran teori ini yang berlawanan secara langsung dengan pendirian
fungsionalis. Antitesis terbaiknya ditunjukkan oleh karya Dahrendorf, pendirian
teori konflik dan teori fungsional disejajarkan. Dahrendorf adalah tokoh utama
yang berpendirian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah (konflik dan konsensus)
dan karena itu teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian: teori konflik
dan teori konsesus. Teoritisi konsesus harus menguji nilai integrasi dalam
masyarakat dan teoritisi konflik harus menguji konflik kepentingan dan
penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama di hadapan tekanan itu.
Dahrendorf mengakui bahwa masyarakat takkan ada tanpa konsesus dan konflik yang
menjadi persyaratan satu sama lain. Jadi, kita tak akan punya konflik kecuali
ada konsesus sebelumnya.
Otoritas. Dahrendorf memusatkan perhatian pada struktur sosial
yang lebih luas. Inti tesisnya adalah gagasan bahwa berbagai posisi di dalam
masyarakat mempunyai kualitas otoritas yang berbeda. Otoritas tidak terletak di
dalam diri individu, teapi di dalam posisi. Dahrendorf tak hanya tertarik pada
struktur posisi, tetapi juga pada konflik antara berbagai struktur posisi itu:
”sumber struktur konflik harus di cari di dalam tatanan peran sosial yang
berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan”. Menurut Dahrendorf, tugas
pertama analisis konflik adalah mengidentifikasi berbagai peran otoritas di
dalam masyarakat. Karena memusatkan perhatian kepada struktur berskala luas
seperti peran otorita itu, Dahrendorf ditentang para peneliti yang memusatkan
perhatian pada tingkat individual. Misalnya, ia dikritik oleh orang yang
memusatkan perhatian pada ciri-cirri psikologi individu yang menempati posisi
itu. Tetapi, menurut Dahrendorf, orang yang melakukan pendekatan demikian
bukanlah sosiolog.
Kelompok, Konflik dan Perubahan. Selanjutnya Dahrendorf membedakan tiga tipe utama
kelompok. Pertama adalah kelompok semu (quasi group) atau sejumlah
pemegang posisi dengan kepentingan yang sama”. Kelompok semu ini adalah calon
anggota tipe kedua, yakni kelompok kepentingan. Kedua kelompok ini
dilukiskan oleh Dahrendorf seperti berikut:
Metode perilaku yang sama adalah karateristik dari kelompok
kepentingan yang direkrut dari kelompok semu yang lebih besar. Kelompok
kepentingan adalah kelompok dalam pengertian sosiologi yang ketat; dan kelompok
ini adalah agen rill dari konflik kelompok. Kelompok ini mempunyai struktur,
bentuk organisasi, tujuan atau program dan anggota perorangan (Dahrendorf,
1959:180).
Dari berbagai jenis kelompok
kepentingan itulah muncul kelompok konflik atau kelompok yang
terlibat dalam konflik aktual. Singkatnya
Dahrendorf menyatakan bahwa segera setelah kelompok konflik muncul,
kelompok itu melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan dalam struktur
sosial. Bila konflik itu hebat, perubahan yang terjadi adalah radikal. Bila
konflik disertai tindakan kekerasan, akan terjadi perubahan struktur secara
tiba-tiba. Apa pun ciri konflik, sosiologi harus membiasakan diri dengan
hubungan antara konflik dan perubahan maupun dengan hubungan antara konflik dan
status quo.
3. Kritik Utama dan Upaya untuk Menghadapinya
Teori
konflik telah dikritik dengan berbagai alasan. Misalnya, teori ini diserang
karena mengabaikan ketertiban dan stabilitas, sedangkan fungsionalisme
struktural diserang karena mengabaikan konflik dan perubahan. Teori konflik juga
dikritik karena berideologi radikal, sedangkan fungsionalisme dikritik karena
ideologi konservatifnya. Bila dibandingkan dengan fungsionalisme struktural,
teori konflik tergolong tertinggal perkembangannya. Teori ini hampir tidak
secanggih fungsionalisme, mungkin karena merupakan teori turunan.
Teori
konflik Dahrendorf menjadi subjek dari sejumlah analisis kritis, termasuk pemikiran kritis oleh
Dahrendorf sendiri. Hasil analisis kritis itu sebagai berikut: Pertama,
model Dahrendorf tak secara jelas mencerminkan pemikiran Marxian seperti yang
ia nyatakan. Seperti segera akan terlihat, sebenarnya teori konflik ini
merupakan terjemahan tidak memadai dari teori Marxian ke dalam sosiologi. Kedua,
seperti yang telah dicatat, teori konflik lebih banyak kesamaannya dengan
teori fungsionalisme struktural ketimbang dengan teori Marxian. Penekanan
Dahrendorf pada hal-hal seperti sistem (asosiasi yang dikoordinasikan secara
paksa), posisi peran, secara langsung mengaitkannya dengan fungsionalisme
struktural. Akibatnya, teori menderita kekurangan yang sama dengan
fungsinalisme struktural. Misalnya, konflik tampak muncul secara misterius dari
sebuah sistem yang sah (sebagimana dalam fungsinalisme struktural).
Selanjutnya, teori konflik menderita berbagai maslah konseptual dan logika seperti
yang dialami fungsionalisme struktur (misalnya, konsep yang samar-samar
tautologi) (Turner, 7975, 1982). Ketiga, seperti fungsinalisme
struktural, teori konflik hampir selurunya bersifat makroskopik dan akibatnya
sedikit sekali ditawarkan kepada kita untuk memahami pemikiran dan tindakan
individu.
Dalam
memahami semua gagasan konflik dapat dirangkum dalam beberapa point yaitu
(Dahrendorf):
1.
Semakin sedikit kondisi
teknikal, sosial, dan politik dari organisasi, semakin hebat konflik yang
terjadi.
2.
Semakin sedikit
mobilitas antara
kelompok yang memiliki otoritas, semakin hebat konflik akan terjadi.
3.
Semakin sedikit kondisi
teknikal. sosial, dan politik dari organisasi, semakin hebat kekerasan akan
terjadi.
4.
Semakin kecil kemampuan
kelompok-kelompok konflik mengembangkan kesepakatan terkait dengan pengaturan,
semakin besar kekerasan akan terjadi.
5.
Semakin hebat konflik,
semakin akan terjadi reorganisasi dan perubahan structural.
6.
Semakin banyak kekerasan
ada di konflik, semakin besar tingkatan reorganisasi dan perubahan struktural (lihat juga dalam George Ritzer).
4. Teori Konflik yang Lebih Integratif
Tokoh utama dalam upaya membangun
teori konflik yang lebih sintesis dan integratif adalah Randall Collins. Conflict
sociology karya Collins (1975) sangat integratif karena jauh lebih
beriorentasi mikro ketimbang teori konflik makro Dahrendorf dan yang lainnya.
Mengenai karya awalnya ini, Collins mengatakan ”Kontribusi utama untuk teori
konflik adalah menambah analisis tingkat mikro terhadap teori yang bertingkat
makro ini. Saya terutama mencoba menunjukkan bahwa stratifikasi dan organisasi
didasarkan atas interaksi kehidupan sehari-hari.
Stratifikasi Sosial. Collins memilih memusatkan perhatian pada stratifikasi
sosial secara stratifikasi sosial adalah instuisi yang menyentuh begitu banyak
ciri kehidupan, seperti “kekayaan, politik, karier, keluarga, klub, komunitas,
gaya hidup” (1975:49). Menurut Collins teori-teori besar telah “gagal”
menerangkan stratifikasi sosial. Teori besar yang dimaksud Collins adalah teori
fungsionalisme struktural dan marxian. Dia mengkritik teori Marxian,
misalnya dengan menyatakannya sebagai “penjelasan monokausal untuk kehidupan
multikausal” (Collins, 1975:49). Ia memandang teori Weber sebagai “antisistem”.
Teori Weber berguna bagi Collins, tetapi “upaya sosiologi fenomenologi untuk
melandasi semua konsep yang digunakan mengamati kehidupan sehari-hari”
(Collins, 1975:53) adalah sangat penting bagi Collins karena sasaran utamanya
dalam studi stratifikasi sosial adalah berskala kecil. Menurut pandangannya,
stratifikasi sosial, seperti semua struktur sosial lainnya, dapat dikurangi ke
tingkat individuasl dalam kehidupan sehari-hari yang saling berinteraksi
menurut cara yang terpola.
Teori Stratifikasi Konflik. Dengan latar belakang di atas, Collins kembali ke
pendekatan konflik stratifikasinya sendiri yang lebih banyak kesamaannya dengan
teori fenomenologi dan etnometodologi ketimbang dengan teori Marxian dan
Weberian. Collins bertolak dari beberapa asumsi. Orang dipandang mempnyai sifat
sosial (sociable), tetapi juga terutama mudah berkonflik dalam hubungan
sosial mereka. Konflik mungkin terjadi dalam hubungan sosial karena “penggunaan
kekerasan” yang selalu dapat dipakai seseorang atau banyak orang dalam
lingkungan pergaulan. Collins yakin bahwa orang berupaya untuk memaksimalkan
“status subjektif” mereka dan kemampuan untuk berbuat demikian tergantung pada
sumber daya mereka maupun sumber daya orang lain dengan siapa mereka berurusan.
Ia melihat orang mempunyai kepentingan sendiri-sendiri; jadi benturan mungkin
terjadi karena kepentingan-kepentingan itu pada dasarnya saling bertentangan.
Pendekatan konflik terhadap
strafikasi dapat diurunkan menjadi tiga prinsip. Pertama, Collins yakin
bahwa orang hidup dalam dunia subjektif yang dibangun sendiri. Kedua,
orang lain mempunyai kekuasaan untuk mempengaruhi atau mengontrol pengalaman
subjektif seorang individu. Ketiga, orang lain sering mencoba mengontrol
orang yang menentang mereka. Akbiatnya adalah kemungkinan terjadinya konflik
individu.
Berdasarkan penelitian ini, Collins
mengembankan lima prinsip analisis konflik yang diterapkan terhadap
stratifikasi sosial, meski ia yakin bahwa kelima prinsip itu dapat diterapkan
di setiap bidang kehidupan sosial.
Pertama, Collins yakin bahwa teori konflik harus memusatkan
perhatian pada kehidupan nyata ketimbang pada formulasi abstrak. Kedua, Collins
yakin bahwa teori konflik stratifikasi harus meneliti dengan seksama susunan
material yang mempengaruhi interaksi. Ketiga, Collins menyatakan bahwa
dalam situasi ketimpangan, kelompok yang mengendalikansumber daya kemungkinan
akan mencoba mengekploitasi kelompok yang sumber dayanya terbatas. Keempat, Collins
menginginkan teoritisi konflik melihat fenomena kultral seperti keyakinan dan
gagasan dari sudut pandang kepentingan, sumber daya dan kekuasaan. Kelima, Collins
membuat komitmen tegas untuk melakukan studi ilmiah tentang stratifikasi dan
setiap aspek kehidupan sosial lainnya.
Komitmen ilmiah ini mendorong
Collins mengembangkan serangkaian proposisi mengenai hubungan antara konflik
dan berbagai aspek khusus kehidupan sosial. Hanya beberapa proposisi saja yang
disajikan disini, namun diharapkan dapat membantu dalam memahami tipe sosiologi
konflik Collins.
·
Pengalaman meberikan dan
menerima perintah adalah faktor yang menentukan pandangan dan tindakan
individu.
·
Makin sering orang
memberikan perintah, dia akan makin bangga, makin percaya diri, makin formal
dan makin mengidentifikasikan dirinya dengan cita-cita organisasi dan dengan
mengatasnamakan organisasi dia menjustifiaksi perintahnya itu.
·
Makin sering orang menerima perintah, maka ia
makin patuh, makin fatalisits, makin terasing dari cita-cita organisasi, makin
menyesuaikan diri secara eksternal, makin mencurigai orang lain, makin
memikirkan imbalan ekstrinsik, dan amoral.
(Collins, 1975: 73-74)
Semua
proposi mencerminkan komitmen Collns untuk melakukan studi ilmiah tentang
menifestasi sosial bersakala kecil dari konflik sosial.
Domain sosial lainnya.
Collins tidak puas menganalisis konflik di dalam sistem stratifikasi saja,
tetapi memperluasnya ke berbagai bidang sosial lainnya. Misalnya, ia memperluas
analisis stratifikasi ke hubungan antara jenis kelamin yang berbeda dan antara
kelompok umur. Ia berpandangan bahwa keluarga adalah sebuah arena konflik
perbedaan kelamin di mana lelaki menjadi pemenang dengan akibat wanita
didominasi oleh lelaki dan tunduk pada berbagai jenis perlakuan yang tidak
adil. Begitu pula, Collins melihat hubungan antara kelompok umur khususnya
antara yang muda dan yang tua sebagai arena konflik.
Ringkasnya,
seperti Dahrendorf, Collins bukan merupakan eksponen sejati teori konflik
Marxian, meski dengan alasan yang berbeda. Meski Collins menggunakan pemikiran
Marx sebagai titik tolak, namun pikiran Weber, Durkheim dan terutama
etnometodologi lebih besar pengaruhnya terhadap karyanya. Orientasi skala kecil
Collins adalah awal yang membantu menuju pengembangan teori konflik yang lebih
integratif. Tetapi, meskipun dia menginginkan teori berskala besar dan berskala
lengkap, namun dia tak menyelesaikan tugasnya itu secara lengkap.
DAFTAR PUSTAKA
Ritzer, George dan Goodman, J. Douglas. 2007.
Teori Sosiologi Modern. Jakarta:
Prenada Media Group.
Wulan, Sari. Dewi 2009.
Sosiologi
dan Konsep Teori. Jakarta
: Refika Aditama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar