BENTURAN
ANTARA REALISME SOSIALIS DAN REALISME NATURALIS
“Sebaik-baiknya karya manusia adalah mereka yang
berpikir merdeka’
Agoeng noegroho
Istilah-istilah
naturalis,
materialis, dan idealis, adalah istilah-istilah
yang digunakan dikalangan ilmu filsafat sebagai suatu paham, pandangan, atau
falsafah hidup yang akhirnya di kalangan ilmu sastra merupakan aliran yang
dianut seseorang dalam menghasilkan karyanya. Aliran dalam karya sastra
biasanya terlihat pada periode tertentu. Setiap periode sastra biasanya
ditandai oleh aliran yang dianut para pengarang pada masa itu. Bahkan unsur
aliran yang menjadi mode pada periode tertentu merupakan ciri khas karya sastra
yang berada pada masa tersebut. Masalah aliran sebagai pokok pandangan hidup,
berangkat dari paham yang dikemukakan para filosof dalam menghadapi kehidupan
alam semesta ini. Tafsiran yang mula-mula diberikan oleh manusia terhadap alam
ini ada dua macam, yaitu supernatural
dan natural. Penganut paham-paham
tersebut dinamakan supernaturalisme dan naturalisme. Paham supernatural mengemukakan bahwa di dalam alam ini
terdapat wujud-wujud yang bersifat gaib yang bersifat lebih tinggi atau lebih
kuasa daripada alam nyata yang mengatur kehidupan alam sehingga menjadi alam
yang ditempati sekarang ini. Kepercayaan animisme dan dinamisme merupakan
kepercayaan yang paling tua usianya dalam sejarah perkembangan kebudayaan
manusia yang berpangkal pada paham supernaturalisme dan masih dianut oleh
beberapa masyarakat di muka bumi ini. Sebagai lawan dari paham supernatural
adalah naturalisme yang menolak
paham supernatural. Paham ini mengemukakan bahwa gejala-gejala alam yang
terlihat ini terjadi karena kekuatan yang terdapat di dalam alam itu sendiri
yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat diketahui. Paham ini juga
mengemukakan bahwa dunia sama sekali bergantung pada materi, kebendaan, dan
gerak. Kenyataan pokok dalam kehidupan dan akhir kehidupan adalah materi, atau
kebendaan. Pada bidang seni terdapat pula kedua aliran besar tersebut dengan
karakteristik yang berbeda, yaitu aliran idealisme
dan materialisme.
Idealisme adalah aliran yang menilai tinggi
angan-angan (idea) dan cita-cita (ideal) sebagai hasil perasaan daripada dunia nyata.
Aliran ini pada awalnya dikemukakan oleh Socrates (469-399 sM.) yang dilanjutkan
oleh muridnya yang bernama Plato (427-347 sM.). Dalam bidang seni rupa pelukis
yang beraliran idealisme cenderung lebih suka mewujudkan benda-benda sebaik mungkin
daripada apa adanya. Dalam ilmu kesusilaan idealisme mengandung pandangan hidup
di mana rohani mewujudkan kekuatan yang berkuasa dan menjelaskan bahwa semua
benda di dalam alam dan pengalaman adalah perwujudan pikiran, pandangan yang
nyata. Lawan aliran idealisme adalah aliran materialisme. Aliran materialisme ini mengemukakan bahwa dunia
sama sekali bergantung pada materi dan gerak. Ajaran ini sudah dikemukakan oleh
Democrates pada abad ke-4 sM, yang mengatakan bahwa semua kejadian yang gaib,
dan ajaib di alam ini digerakkan oleh atom dan keluasan geraknya. Tidak ada
kekuatan gaib yang bersifat supernatural yang mengatur kehidupan ini. Di dalam bidang seni, seni rupa dan seni pahat,
aliran materialisme atau naturalisme ini disebutjuga dengan aliran
realisme, yaitu bentuk lukisan yang diciptakan menurut
keadaan alam yang sebenarnya yang berdasarkan atas
faktor-faktor perspektif, proporsi, warna, sinar, dan bayangan. Sedangkan di dalam seni sastra
aliran materialisme atau naturalisme ini merupakan kelanjutan
dari aliran realisme.
Realisme
adalah aliran dalam karya sastra yang berusaha melukiskan
suatu objek seperti apa adanya Pengarang berperan secara objektif. Dalam
keobjektifanlah ia melihat keindahan objek yang dibidiknya dan dihasilkan di
dalam karya sastra. Pengarang tidak memasukkan ide, pikiran, tanggapan dalam
menghadapi objeknya. Gustaf Flaubert
seorang pengarang realisme Perancis mengemukakan bahwa objektivitas pengarang
sangat diperlukan dalam menghasilkan karyanya. Objek yang dibidik pengarang
sebagai objek ceritanya tidak hanya manusia dengan beragam karakternya, ia juga
dapat berupa binatang, alam, tumbuh-tumbuhan, dan objek lainnya yang berkesan
bagi pengarang sebagai sumber inspirasinya. Impresionisme berarti aliran dalam
bidang seni sastra, seni lukis, seni musik yang lebih mengutamakan kesan
tentang suatu objek yang diamati dari pada wujud objek itu sendiri. Di bidang
seni lukis, aliran ini bermula di Perancis pada akhir abad ke-l9.
Realisme Sosialis oleh Fokkema
D.W dan Elrud Kunne-Ilsch dalam buku TeoriSastra Abad Keduapuluh
(Gramedia;1998) setidaknya mengambarkan rumusan konkret tersebut. Mereka berdua
menuliskan kriteria dalam tiga dasar pokok: 1) kriteria penafsiran determinisme
ekonomi yang menyangkut pertanyaan apakah karya sastra mengambarkan
perkembangan-perkembangan lebih maju atau lebih mundur berdasarkan
ekonomi;2)kriteria probabilitas kebenaran yang sepenuhnya sesuai dengan
perkembangan sastra pada zamannya; dan 3) kriteria (selera) pribadi, misalnya
tulisan-tulisan Aeschylus, Shakespeare dan Goethe, yang termasuk daftar
kesustraan pada zamannya. Secara general realisme sosialis menginginkan
keharmonisan antara kenyataan dan idea. Kenyataan harus di nyatakan sebagai
mana adanya, menurut proposisi aslinya, sementara idea harus di sandarkan pada
konteks kondisi obyektif. Hal yang paling prinsipil dari semuanya adalah
semangat ideologi terhadap perjuangan klas bagi kaum tertindas (proletariat).
Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai pemikiran realisme sosialis Mulai
dari Maxim Gorki, Lu Hsun, George Lukacs, bahkan sampai Pramudya Ananta Toer. Sastra
realisme sosialis bisa dianggap sebagai sastranya rakyat jembel, kaum
pekerja(buruh, tani dan nelayan) yang hadir untuk ikut terlibat berjuang
melawan segala sesuatu yang menindas terutama sistem kapitalisme yang secara
nyata menghisap kaum pekerja.( Kurniawan Eka, 1999). Ia harus menjadi aspeks
gerakan partisan terhadap partai revolusioner. V. I. Lenin, sang pemimpin
revolusi Rusia 1917 mengatakan;” Sastra haruslah menjadi roda penggerak dan
baling-baling dari sebuah mesin besar sosial demokrasi”. Kenetralan tulisan
dianggap oleh Lenin sebagai sesuatu yang mustahil, “kebebasan penulis borjuis
(klas menegah) hanyalah ditopengi oleh ketergantungan terhadap sekantong
uang!…begitu juga dengan penulis-penulis non partisan. Apa yang dibutuhkan
adalah sastra yang luas, bentuk yang beragam dan tidak terpisah dari gerakan
klas pekerja (kaum buruh dan tani).
Mukadimah
Lekra adalah naskah proklamasi pendirian sebuah organisasi
kebudayaan, Lembaga Kebudayaan Rakyat, 17 Agustus 1950, tepat lima tahun
setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dari naskah inilah seluruh
kerja-kerja kebudayaan Lekra dilandaskan. Lekra didirikan oleh sekitar 15 orang
yang menyebut dirinya sebagai peminat dan pekerja kebudayaan di Jakarta.
Pengurus awal yang kemudian menjadi anggota sekretariat pusat Lekra adalah A.S.
Dharta, M.S. Ashar dan Herman Arjuna sebagai sekretaris I, II dan III. Dengan
anggota: Henk Ngantung, Njoto dan Joebaar Ajoeb. Mukadimah ini dibuka dengan
pernyataan yang sangat keras, bahwa “Revolusi Agustus 1945 telah gagal!”
Revolusi Agustus diyakini Lekra sebagai revolusi seluruh rakyat Indonesia dalam
mencapai kemerdekaan total dari penjajahan, secara politis, ekonomi dan
kultural. Dalam perjalanan lima tahun setelah proklamasi 17 Agustus 1945,
kelanjutan revolusi Indonesia dianggap gagal. Perjuangan rakyat dalam
menuntaskan revolusi, diputus dan dihambat, diganti dengan apa yang disebut
dengan “perjuangan diplomasi”, perjuangan yang dianggap meniadakan perjuangan
dan pengorbanan rakyat selama
revolusi Agustus 1945. Dalam laporannya pada kongres pertamanya di Solo,
Sekretaris Umum Lekra Joebaar Ajoeb menyatakan:
“Demikianlah, Lekra didirikan tepat 5 tahun sesudah
Revolusi Agustus pecah, di saat revolusi tertahan oleh rintangan hebat yang
berujud persetujuan KMB, jadi, disaat garis revolusi sedang menurun. Lekra
didirikan untuk turut mencegah kemerosotan lebih lanjut garis revolusi, karena
kita sadar, karena tugas ini bukan hanya tugas politisi, tetapi juga tugas
pekerja-pekerja kebudayaan. Lekra didirikan untuk menghimpun kekuatan yang taat
dan teguh mendukung revolusi.’[1]
Humanisme Universal adalah karya
sastra yang didasarkan pada kebebasan manusia secara individual. Menjadi
pandangan para pujangga 45 yang membuat pernyataan surat putusan gelanggang,
pertama kali muncul dalam rubric Cahier Seni dan Sastera yang juga bernama “Gelanggang” dari
Majalah Siasat, edisi Oktober 1950. Redaksi ruang kebudayaan Gelanggang
adalah Asrul Sani dan Rivai Apin. Sebelum diumumkan, Surat Kepercayaan ini sebelumnya
pernah dibacakan dalam sebuah pertemuan budayawan dan intelektual di paviliun
Hotel Indes Jakarta bulan Juni 1950. Kalimat pembuka SKG ini seringkali dikutip
oleh kalangan seniman dan sastrawan sebagai landasan argumen bahwa seni dan
kebudayaan pada umumnya adalah universal. Ia melintasi batas-batas bahasa,
suku, agama bahkan bangsa. Identitas kebudayaan mereka dapat dari cara mereka
meneruskan bangunan kebudayaan itu dengan “cara kami sendiri”.. Dengan ini
mereka juga menyatakan vitalnya kebebasan kreatif bagi perkembangan kebudayaan.
Seturut dengan semangat universal itu, maka mereka tidak secara khusus Siasat
adalah majalah mingguan politik dan kebudayaan yang diasuh oleh kalangan
budayawan dan intelektual yang kemudian hari dekat dengan Partai Sosialis
Indonesia (PSI), seperti Soedjatmoko, Rosihan Anwar, Gadis Rasjid dan Soedarpo
Sastrosatomo. Terbit pertama kali Januari 1947, sedangkan ruang kebudayaan
“Gelanggang”-nya baru muncul pada awal 1948 atas inisiatif sekelompok seniman
(yang bukan kebeteluan juga bernama) “Gelanggang” seperti Chairil Anwar dan Ida
Nasution. Kelompok yang bernama lengkap “Gelanggang Seniman Merdeka” inilah
yang kemudian oleh HB Jassin dikategorikan sebagai Angkatan 45 dalam sejarah
sastra Indonesia.
Manifesto
Kebudayaan adalah konsep
kebudayaan nasional yang dikeluarkan oleh para penyair dan pengarang pada 17 Agustus 1963.
Manifestasi ini dilakukan guna melawan dominasi dan tekanan dari golongan kiri,
dengan ideologi kesenian dan kesusastraan realisme sosial yang dipraktekkan oleh seniman-seniman yang
terhimpun dalam Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Manifesto Kebudayaan juga dijuluki oleh pihak kiri
sebagai Manikebu. Pencetus
manifestasi ini adalah Wiratmo Soekito, dan ditandatangani antara lain oleh Arief Budiman, Taufik Ismail dan Goenawan Mohammad. Diilhami oleh
semangat humanisme universal yang pertama kali dinyatakan lewat Surat
Kepercayaan Gelanggang, Manifesto ini menyerukan, antara lain, pentingnya
keterlibatan setiap sektor dalam perjuangan kebudayaan di Indonesia. Manifesto
itu sendiri tidak menjabarkan dengan terinci langkah-langkah apa yang perlu
diambil untuk memperjuangkan "martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia
di tengah masyarakat bangsa-bangsa".
BENTURAN ANTARA REALISME SOSIALIS DAN
REALISME NATURALIS.
Ungkapan “Sejarah ditulis sang pemenang” menemukan
bentuknya yang paling telanjang dalam historiografi pada masa Orde Baru. Semua
peristiwa yang terjadi menjelang dan awal Orde Baru berkuasa ditulis tidak
berimbang dan tidak tuntas dengan potensi kontroversi yang tinggi. Setiap kali
diterbitkan hasil penelitian atau buku yang membicarakan apa saja dengan latar
tahun 1960-an selalu memicu perdebatan, baik dari sudut fakta maupun
interpretasi terhadapnya. Demikian pula yang terjadi di wilayah kebudayaan. Apa
yang terjadi di paruh pertama 1960-an, masih terus diperdebatkan dari tahun ke
tahun, dengan kualitas isi perdebatan yang tidak pernah mengalami peningkatan.
Artinya masih dalam level saling tuding tentang apa saja yang dilakukan dan apa
yang tidak dilakukan pada masa itu. Masing-masing pihak mempertahankan
pengalaman dan pengetahuannya sebagai iman dan dengan demikian menutup pintu
diskusi. Tinggalah semacam “pengetahuan umum” yang tidak tuntas: bahwa pada
paruh pertama 1960-an telah terjadi perdebatan sengit di wilayah kebudayaan
Indonesia. Antara di satu pihak sekelompok seniman dan cendekiawan yang
bergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang sangat dekat dengan
Partai Komunis Indonesia dengan “ideologi” Realisme Sosialis dengan semboyan
politik sebagai panglima. Pihak lawannya adalah kelompok non partisan Manifes Kebudayaan
yang menolak politik sebagai panglima di bidang seni dan memilih seni untuk
seni dengan “ideologi” Humanisme Universal. Di sana sini muncul peserta debat lain,
yang masing-masing condong ke salah satu kubu seperti Lembaga Kebudayaan
Nasional (LKN) atau Lembaga Seni Budaya Muslim ( Lesbumi ).
Kritik dekontruksi antara para pujangga seperti Taufik Ismail dari
Manikebu ketidaksetujuannya terhadap
marxisme secara umum dengan harga mati, dalam arti seluruh ketidaksetujuannya
didasarkan pada iman dan pengalaman
subyektif. Tidak ada argument ilmiah
yang bisa diperdebatkan dalam ketidaksetujuan itu. Lewat bahan-bahan yang dikumpulkan dalam buku ini diharapkan
pembaca bisa melihat “tabrakan ideologi” yang terjadi pada era itu, yang menurut dia “titik pusat asal usul bencana semuanya ini yang utama adalah
Marx.”.[2]Sebuah simplifikasi khas produk Orde Baru.
Pada
seminar Kesusasteraan Fakultas Sastra UI 24 November 1963, sekitar 3 bulan
setelah pengumuman Manifes Kebudayaan, Saut Sitomorang ketua LKN membawakan
makalah berjudul “Manipol dan Kekuasan”.. Di sini Sitor membahas bagaimana
sastra bisa berbarengan dengan ilmu dan perkembangan masyarakat lewat
indoktrinasi revolusi dengan tujuan sosialisme yang berhaluan Manipol. Revolusi
yang dipimpin politik di dalamnya telah mengandung kebudayan, pendidikan dan
lain-lainnya. Sitor menolak dualisme antara politik dan kebudayan. “Gerakan
nasional adalah gerakan kebudayaan dan politik sekaligus. Kita sekarang
bergerak di alam revolusi, dalam mana gerak kebudayaan tidak dapat diisolasi
dari gerak politik, dan sebaliknya. Kebebasan kreatif harus dilihat dalam
konteks revolusi karena sastra tidak bisa tidak terikat dengan jaman yang
menghidupinya. Karena itu Humanisme Universal harus ditolak karena dia
membatasi diri dengan mode-mode, gaya-gaya sastra menurut musimnya. Sitor
menolak isme-isme dalam ilmu dan kebudayan Barat, yang dilihatnya telah menjadi
penafsiran established, yang berakar pada kebekuan sosial Barat.[3] Makalah
Sitor ditanggapi Goenawan Mohamad dalam “Manipolisasi Sastra bukan Manipulasi
Sastra”. Goenawan menolak hubungan pengabdian antara revolusi dan sastra, tapi
hubungan satu hati satu tujuan.. Yang diabdi oleh sastra bukanlah revolusinya
tapi cita-citanya, sebab revolusi bisa kehilangan cita-citanya kalau menjadikan
dirinya sebagai cita- cita itu sendiri. Sebab sastra adalah juga perjuangan
akan nilai-nilai yang obyektif, yang kekal dan universal.[4]Perdebatan
di antara mereka sulit untuk bertemu karena bergerak pada level yang berbeda.
Sitor memandang masalah sastra di sini sangat kontekstual politis, yaitu bagaimana
sastra turut berperan dalam meneruskan revolusi yang belum selesai. Sedangkan
Goenawan melihatnya lebih obyektif teoritis, bagaimana seharusnya sastra
memainkan perannya. Selanjutnya ceramah Pramoedya Ananta Toer ( Lekra ) di FS
UI 26 Januari 1963. Makalah ceramah ini adalah salah satu tulisan yang membahas
Realisme Sosialis dengan cukup memadai. menekankan pempraktekan sosialisme
dalam kreasi sastra, menjadikannya bagian integral dari mesin perjuangan umat manusia
untuk menghancurkan penindasan rakyat pekerja oleh imperialisme. Sastra
Realisme Sosialis bertanggungjawab untuk “membukakan kemungkinan-kemungkinan
perkembangan hari depan yang menguntungkan bagi setiap dan semua tenaga yang
berjuang, berproduksi dan berkreasi.” Sedangkan sastra borjuis yang berideologi
Humanisme Universal, yang di Indonesia adalah jubah baru dari politik etik
Belanda, hanya bertanggungjawab pada estetika dan masyarakat yang belum jelas
ada atau tidak[5]. Terkadang masalah yang
diangkat tidak signifikan dengan bahasa yang kasar. Misalnya ketika Bokor
Hutasuhut ( Manikebu ) menuduh Pram kurang revolusioner karena waktu di tahanan
Pram menulis renungan-renungannya dengan alat tulis yang diberikan oleh
Belanda. Bokor juga menuduh Pram melupakan Rakyat dan Revolusi Indonesia ketika
menulis Hoa Kiauw di Indonesia, karena itu Pram ditangkap dan dipenjara.
Pramoedya Ananta Toer meminta Bokor Hutasuhut memeriksa proses verbal-nya di
polisi, di mana Pram mengatakan bahwa pengubahan sistem ekonomi dan bukan
personalia ekonomi yang memberikan rahmat kepada Rakyat dan Revolusi Indonesia.
Walau Pram sudah ditahan dan lalu bebas, dia tetap yakin dengan pandangannya itu
dan siap mempertanggungjawabkannya lagi di pengadilan.[6]
Dukungan
terselubung militer ini menjadi terbuka ketika kelompok Manikebu mengadakan
Konprensi Karyawan Pengarang Indonesia 1-7 Maret 1964. Konprensi ini diadakan
terutama untuk memberi wadah pada para pendukung Manikebu, semacam pelembagaan
awal kegiatan mereka. Diharapkan lewat forum ini , mereka bisa merapatkan
barisan menghadapi para penyerang, dengan mulai menterjemahkan gagasan menjadi
aksi. Dukungan militer dalam konprensi ini mulai dari transportasi untuk para
peserta dari luar Jakarta, penyediaan akomodasi dan tempat sampai mengirimkan
wakilnya, Brigadir Jendral Soedjono sebagai ketua Presidium konprensi tersebut.
Keith Foulcher dalam bahasan Social Commitment in
Literature and Arts Lekra melihat bahwa dominasi Lekra dalam perjalanan
kebudayaan Indonesia setelah merdeka mendapat perlawanan secara politis dari
militer, khususnya Angkatan Darat, lewat kelompok Manifes Kebudayaan. Keith
Foulcher melihat perdebatan kebudayaan yang muncul setelah 13 tahun Lekra
berdiri ini, adalah manifestasi dari usaha militer untuk membendung dominasi
PKI dalam politik nasional, dengan mendukung gerakan Manifes Kebudayaan.
Menurut Keith, militer melihat bahwa gerakan kebudayaan dari Lekra telah
berubah menjadi gerakan politik, menjadi corong kebudayaan PKI. kita melihat bahwa pretensi untuk memperjelas
berbagai gejolak budaya di era 60-an Apa yang dipermasalahkan dalam perdebatan
itu tidak jelas, tidak ada konsep yang secara konsisten terus dibahas, sehingga
melahirkan pemahaman- pemahaman baru, kalau belum bisa disebut kesimpulan. Hal yang
muncul kuat justru gejolak politik yang memakai wilayah kebudayaan. Pihak yang
satu menerima politik sebagai panglima karena menganggap realitas politik yang ada
harus dapat direpresentasikan dalam seni dan menjadi sikap kebudayaan secara
umum. Pihak yang lain menolak intervensi politik dalam kebudayaan, dan
melawannya secara politis, dengan terlibat dalam perseteruan politis yang direpresentasikan
pihak yang menerima politik sebagai panglima tersebut. Lekra karena
kedekatannya secara personal, bukan organisasional, dengan PKI banyak menyerap informasi
dan pemahaman tentang kondisi politis paling baru dari PKI. Sedangkan untuk
melawan dominasi Lekra di semua sektor kebudayaan, golongan Manikebu bersekutu dengan
Angkatan Darat yang adalah saingan utama PKI dalam politik.
Daftar
Pustaka
1. Ismail
, Taufik/D.S. Moeljanto, [ed], 1995, Prahara Budaya: Kilas Balik
Ofensif Lekra/PKI dkk., Jakarta, Mizan dan HU Republika.
2. Foulcher,
Keith,1986, Social Committment in Literature and the Arts: the Indonesian
“Institute of People’s Culture” 1950-1965, Victoria, Monash University
Press.
3. Karyanto,
Ibe, 1997, Realisme Sosialis
Georg Lukacs, Jakarta, Jaringan Kerja Budaya dan Gramedia Pustaka Utama.
4. Mohamad,
Goenawan, 1993, Kesusasteraan dan Kekuasaan, Jakarta, Pustaka Firdaus
5. Eagleton,
Terry..2006.Teori Sastra Sebuah Pengantar Komprehensif,Yogyakarta. Jalasutra
[1] Joebaar, Ajoeb,
1959, “Perkembangan Kebudayaan Indonesia
Sejak Agustus 1945 Dan Tempat Serta Peranan Lekra Di Dalamnya” dalam Dokumen Kongres Nasional I Lekra, Bagian Penerbitan Lekra, 1959. hlm.15.
[2] Ismail, Taufik/DS
Moeljanto [ed], 1995, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI
dkk., Jakarta, Mizan dan HU Republika, hlm. 26
[3] Ibid.hal 107
[4] Ibid,hal 116
[5] Ibid, hal 119.
[6] Dalam buku
ini Pram membela golongan keturunan Tionghoa yang terkena PP no. 10 di mana
mereka tidak boleh menjalankan usaha dagangnya di tingkat desa dalam rangka
memberdayakan perekonomian pribumi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar