Kamis, 27 Desember 2012

DINAMISASI PARA PUNJANGGA MERAH ERA 60-an



BENTURAN ANTARA REALISME SOSIALIS DAN REALISME NATURALIS
                                                                              “Sebaik-baiknya karya manusia adalah mereka yang berpikir merdeka’
Agoeng noegroho
Istilah-istilah naturalis, materialis, dan idealis, adalah istilah-istilah yang digunakan dikalangan ilmu filsafat sebagai suatu paham, pandangan, atau falsafah hidup yang akhirnya di kalangan ilmu sastra merupakan aliran yang dianut seseorang dalam menghasilkan karyanya. Aliran dalam karya sastra biasanya terlihat pada periode tertentu. Setiap periode sastra biasanya ditandai oleh aliran yang dianut para pengarang pada masa itu. Bahkan unsur aliran yang menjadi mode pada periode tertentu merupakan ciri khas karya sastra yang berada pada masa tersebut. Masalah aliran sebagai pokok pandangan hidup, berangkat dari paham yang dikemukakan para filosof dalam menghadapi kehidupan alam semesta ini. Tafsiran yang mula-mula diberikan oleh manusia terhadap alam ini ada dua macam, yaitu supernatural dan natural. Penganut paham-paham tersebut dinamakan supernaturalisme dan naturalisme. Paham supernatural mengemukakan bahwa di dalam alam ini terdapat wujud-wujud yang bersifat gaib yang bersifat lebih tinggi atau lebih kuasa daripada alam nyata yang mengatur kehidupan alam sehingga menjadi alam yang ditempati sekarang ini. Kepercayaan animisme dan dinamisme merupakan kepercayaan yang paling tua usianya dalam sejarah perkembangan kebudayaan manusia yang berpangkal pada paham supernaturalisme dan masih dianut oleh beberapa masyarakat di muka bumi ini. Sebagai lawan dari paham supernatural adalah naturalisme yang menolak paham supernatural. Paham ini mengemukakan bahwa gejala-gejala alam yang terlihat ini terjadi karena kekuatan yang terdapat di dalam alam itu sendiri yang dapat dipelajari dan dengan demikian dapat diketahui. Paham ini juga mengemukakan bahwa dunia sama sekali bergantung pada materi, kebendaan, dan gerak. Kenyataan pokok dalam kehidupan dan akhir kehidupan adalah materi, atau kebendaan. Pada bidang seni terdapat pula kedua aliran besar tersebut dengan karakteristik yang berbeda, yaitu aliran idealisme dan materialisme. Idealisme adalah aliran yang menilai tinggi angan-angan (idea) dan cita-cita (ideal) sebagai hasil perasaan daripada dunia nyata. Aliran ini pada awalnya dikemukakan oleh Socrates (469-399 sM.) yang dilanjutkan oleh muridnya yang bernama Plato (427-347 sM.). Dalam bidang seni rupa pelukis yang beraliran idealisme cenderung lebih suka mewujudkan benda-benda sebaik mungkin daripada apa adanya. Dalam ilmu kesusilaan idealisme mengandung pandangan hidup di mana rohani mewujudkan kekuatan yang berkuasa dan menjelaskan bahwa semua benda di dalam alam dan pengalaman adalah perwujudan pikiran, pandangan yang nyata. Lawan aliran idealisme adalah aliran materialisme. Aliran materialisme ini mengemukakan bahwa dunia sama sekali bergantung pada materi dan gerak. Ajaran ini sudah dikemukakan oleh Democrates pada abad ke-4 sM, yang mengatakan bahwa semua kejadian yang gaib, dan ajaib di alam ini digerakkan oleh atom dan keluasan geraknya. Tidak ada kekuatan gaib yang bersifat supernatural yang mengatur kehidupan ini. Di dalam bidang seni, seni rupa dan seni pahat, aliran materialisme atau naturalisme ini disebutjuga dengan aliran realisme, yaitu bentuk lukisan yang diciptakan menurut keadaan alam yang sebenarnya yang berdasarkan atas faktor-faktor perspektif, proporsi, warna, sinar, dan bayangan. Sedangkan di dalam seni sastra aliran materialisme atau naturalisme ini merupakan kelanjutan dari aliran realisme.
Realisme adalah aliran dalam karya sastra yang berusaha melukiskan suatu objek seperti apa adanya Pengarang berperan secara objektif. Dalam keobjektifanlah ia melihat keindahan objek yang dibidiknya dan dihasilkan di dalam karya sastra. Pengarang tidak memasukkan ide, pikiran, tanggapan dalam menghadapi objeknya. Gustaf  Flaubert seorang pengarang realisme Perancis mengemukakan bahwa objektivitas pengarang sangat diperlukan dalam menghasilkan karyanya. Objek yang dibidik pengarang sebagai objek ceritanya tidak hanya manusia dengan beragam karakternya, ia juga dapat berupa binatang, alam, tumbuh-tumbuhan, dan objek lainnya yang berkesan bagi pengarang sebagai sumber inspirasinya. Impresionisme berarti aliran dalam bidang seni sastra, seni lukis, seni musik yang lebih mengutamakan kesan tentang suatu objek yang diamati dari pada wujud objek itu sendiri. Di bidang seni lukis, aliran ini bermula di Perancis pada akhir abad ke-l9.
Realisme Sosialis oleh Fokkema D.W dan Elrud Kunne-Ilsch dalam buku TeoriSastra Abad Keduapuluh (Gramedia;1998) setidaknya mengambarkan rumusan konkret tersebut. Mereka berdua menuliskan kriteria dalam tiga dasar pokok: 1) kriteria penafsiran determinisme ekonomi yang menyangkut pertanyaan apakah karya sastra mengambarkan perkembangan-perkembangan lebih maju atau lebih mundur berdasarkan ekonomi;2)kriteria probabilitas kebenaran yang sepenuhnya sesuai dengan perkembangan sastra pada zamannya; dan 3) kriteria (selera) pribadi, misalnya tulisan-tulisan Aeschylus, Shakespeare dan Goethe, yang termasuk daftar kesustraan pada zamannya. Secara general realisme sosialis menginginkan keharmonisan antara kenyataan dan idea. Kenyataan harus di nyatakan sebagai mana adanya, menurut proposisi aslinya, sementara idea harus di sandarkan pada konteks kondisi obyektif. Hal yang paling prinsipil dari semuanya adalah semangat ideologi terhadap perjuangan klas bagi kaum tertindas (proletariat). Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai pemikiran realisme sosialis Mulai dari Maxim Gorki, Lu Hsun, George Lukacs, bahkan sampai Pramudya Ananta Toer. Sastra realisme sosialis bisa dianggap sebagai sastranya rakyat jembel, kaum pekerja(buruh, tani dan nelayan) yang hadir untuk ikut terlibat berjuang melawan segala sesuatu yang menindas terutama sistem kapitalisme yang secara nyata menghisap kaum pekerja.( Kurniawan Eka, 1999). Ia harus menjadi aspeks gerakan partisan terhadap partai revolusioner. V. I. Lenin, sang pemimpin revolusi Rusia 1917 mengatakan;” Sastra haruslah menjadi roda penggerak dan baling-baling dari sebuah mesin besar sosial demokrasi”. Kenetralan tulisan dianggap oleh Lenin sebagai sesuatu yang mustahil, “kebebasan penulis borjuis (klas menegah) hanyalah ditopengi oleh ketergantungan terhadap sekantong uang!…begitu juga dengan penulis-penulis non partisan. Apa yang dibutuhkan adalah sastra yang luas, bentuk yang beragam dan tidak terpisah dari gerakan klas pekerja (kaum buruh dan tani).
Mukadimah Lekra adalah naskah proklamasi pendirian sebuah organisasi kebudayaan, Lembaga Kebudayaan Rakyat, 17 Agustus 1950, tepat lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dari naskah inilah seluruh kerja-kerja kebudayaan Lekra dilandaskan. Lekra didirikan oleh sekitar 15 orang yang menyebut dirinya sebagai peminat dan pekerja kebudayaan di Jakarta. Pengurus awal yang kemudian menjadi anggota sekretariat pusat Lekra adalah A.S. Dharta, M.S. Ashar dan Herman Arjuna sebagai sekretaris I, II dan III. Dengan anggota: Henk Ngantung, Njoto dan Joebaar Ajoeb. Mukadimah ini dibuka dengan pernyataan yang sangat keras, bahwa “Revolusi Agustus 1945 telah gagal!” Revolusi Agustus diyakini Lekra sebagai revolusi seluruh rakyat Indonesia dalam mencapai kemerdekaan total dari penjajahan, secara politis, ekonomi dan kultural. Dalam perjalanan lima tahun setelah proklamasi 17 Agustus 1945, kelanjutan revolusi Indonesia dianggap gagal. Perjuangan rakyat dalam menuntaskan revolusi, diputus dan dihambat, diganti dengan apa yang disebut dengan “perjuangan diplomasi”, perjuangan yang dianggap meniadakan perjuangan dan pengorbanan rakyat selama revolusi Agustus 1945. Dalam laporannya pada kongres pertamanya di Solo, Sekretaris Umum Lekra Joebaar Ajoeb menyatakan:
“Demikianlah, Lekra didirikan tepat 5 tahun sesudah Revolusi Agustus pecah, di saat revolusi tertahan oleh rintangan hebat yang berujud persetujuan KMB, jadi, disaat garis revolusi sedang menurun. Lekra didirikan untuk turut mencegah kemerosotan lebih lanjut garis revolusi, karena kita sadar, karena tugas ini bukan hanya tugas politisi, tetapi juga tugas pekerja-pekerja kebudayaan. Lekra didirikan untuk menghimpun kekuatan yang taat dan teguh mendukung revolusi.’[1]

Humanisme Universal adalah karya sastra yang didasarkan pada kebebasan manusia secara individual. Menjadi pandangan para pujangga 45 yang membuat pernyataan surat putusan gelanggang, pertama kali muncul dalam rubric Cahier Seni dan Sastera       yang juga bernama “Gelanggang” dari Majalah Siasat, edisi Oktober 1950. Redaksi ruang kebudayaan Gelanggang adalah Asrul Sani dan Rivai Apin. Sebelum diumumkan, Surat Kepercayaan ini sebelumnya pernah dibacakan dalam sebuah pertemuan budayawan dan intelektual di paviliun Hotel Indes Jakarta bulan Juni 1950. Kalimat pembuka SKG ini seringkali dikutip oleh kalangan seniman dan sastrawan sebagai landasan argumen bahwa seni dan kebudayaan pada umumnya adalah universal. Ia melintasi batas-batas bahasa, suku, agama bahkan bangsa. Identitas kebudayaan mereka dapat dari cara mereka meneruskan bangunan kebudayaan itu dengan “cara kami sendiri”.. Dengan ini mereka juga menyatakan vitalnya kebebasan kreatif bagi perkembangan kebudayaan. Seturut dengan semangat universal itu, maka mereka tidak secara khusus Siasat adalah majalah mingguan politik dan kebudayaan yang diasuh oleh kalangan budayawan dan intelektual yang kemudian hari dekat dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI), seperti Soedjatmoko, Rosihan Anwar, Gadis Rasjid dan Soedarpo Sastrosatomo. Terbit pertama kali Januari 1947, sedangkan ruang kebudayaan “Gelanggang”-nya baru muncul pada awal 1948 atas inisiatif sekelompok seniman (yang bukan kebeteluan juga bernama) “Gelanggang” seperti Chairil Anwar dan Ida Nasution. Kelompok yang bernama lengkap “Gelanggang Seniman Merdeka” inilah yang kemudian oleh HB Jassin dikategorikan sebagai Angkatan 45 dalam sejarah sastra Indonesia.
Manifesto Kebudayaan adalah konsep kebudayaan nasional yang dikeluarkan oleh para penyair dan pengarang pada 17 Agustus 1963. Manifestasi ini dilakukan guna melawan dominasi dan tekanan dari golongan kiri, dengan ideologi kesenian dan kesusastraan realisme sosial yang dipraktekkan oleh seniman-seniman yang terhimpun dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Manifesto Kebudayaan juga dijuluki oleh pihak kiri sebagai Manikebu. Pencetus manifestasi ini adalah Wiratmo Soekito, dan ditandatangani antara lain oleh Arief Budiman, Taufik Ismail dan Goenawan Mohammad. Diilhami oleh semangat humanisme universal yang pertama kali dinyatakan lewat Surat Kepercayaan Gelanggang, Manifesto ini menyerukan, antara lain, pentingnya keterlibatan setiap sektor dalam perjuangan kebudayaan di Indonesia. Manifesto itu sendiri tidak menjabarkan dengan terinci langkah-langkah apa yang perlu diambil untuk memperjuangkan "martabat diri kami sebagai bangsa Indonesia di tengah masyarakat bangsa-bangsa".

BENTURAN ANTARA REALISME SOSIALIS DAN REALISME NATURALIS.
Ungkapan “Sejarah ditulis sang pemenang” menemukan bentuknya yang paling telanjang dalam historiografi pada masa Orde Baru. Semua peristiwa yang terjadi menjelang dan awal Orde Baru berkuasa ditulis tidak berimbang dan tidak tuntas dengan potensi kontroversi yang tinggi. Setiap kali diterbitkan hasil penelitian atau buku yang membicarakan apa saja dengan latar tahun 1960-an selalu memicu perdebatan, baik dari sudut fakta maupun interpretasi terhadapnya. Demikian pula yang terjadi di wilayah kebudayaan. Apa yang terjadi di paruh pertama 1960-an, masih terus diperdebatkan dari tahun ke tahun, dengan kualitas isi perdebatan yang tidak pernah mengalami peningkatan. Artinya masih dalam level saling tuding tentang apa saja yang dilakukan dan apa yang tidak dilakukan pada masa itu. Masing-masing pihak mempertahankan pengalaman dan pengetahuannya sebagai iman dan dengan demikian menutup pintu diskusi. Tinggalah semacam “pengetahuan umum” yang tidak tuntas: bahwa pada paruh pertama 1960-an telah terjadi perdebatan sengit di wilayah kebudayaan Indonesia. Antara di satu pihak sekelompok seniman dan cendekiawan yang bergabung dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), yang sangat dekat dengan Partai Komunis Indonesia dengan “ideologi” Realisme Sosialis dengan semboyan politik sebagai panglima. Pihak lawannya adalah kelompok non partisan Manifes Kebudayaan yang menolak politik sebagai panglima di bidang seni dan memilih seni untuk seni dengan “ideologi” Humanisme Universal. Di sana sini muncul peserta debat lain, yang masing-masing condong ke salah satu kubu seperti Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) atau Lembaga Seni Budaya Muslim ( Lesbumi ).
Kritik dekontruksi antara para pujangga seperti Taufik Ismail dari Manikebu  ketidaksetujuannya terhadap marxisme secara umum dengan harga mati, dalam arti seluruh ketidaksetujuannya didasarkan pada iman dan pengalaman subyektif. Tidak ada argument ilmiah yang bisa diperdebatkan dalam ketidaksetujuan itu. Lewat bahan-bahan yang dikumpulkan dalam buku ini diharapkan pembaca bisa melihat “tabrakan ideologi” yang terjadi pada era itu, yang menurut dia “titik pusat asal usul bencana semuanya ini yang utama adalah Marx.”.[2]Sebuah simplifikasi khas produk Orde Baru.
Pada seminar Kesusasteraan Fakultas Sastra UI 24 November 1963, sekitar 3 bulan setelah pengumuman Manifes Kebudayaan, Saut Sitomorang ketua LKN membawakan makalah berjudul “Manipol dan Kekuasan”.. Di sini Sitor membahas bagaimana sastra bisa berbarengan dengan ilmu dan perkembangan masyarakat lewat indoktrinasi revolusi dengan tujuan sosialisme yang berhaluan Manipol. Revolusi yang dipimpin politik di dalamnya telah mengandung kebudayan, pendidikan dan lain-lainnya. Sitor menolak dualisme antara politik dan kebudayan. “Gerakan nasional adalah gerakan kebudayaan dan politik sekaligus. Kita sekarang bergerak di alam revolusi, dalam mana gerak kebudayaan tidak dapat diisolasi dari gerak politik, dan sebaliknya. Kebebasan kreatif harus dilihat dalam konteks revolusi karena sastra tidak bisa tidak terikat dengan jaman yang menghidupinya. Karena itu Humanisme Universal harus ditolak karena dia membatasi diri dengan mode-mode, gaya-gaya sastra menurut musimnya. Sitor menolak isme-isme dalam ilmu dan kebudayan Barat, yang dilihatnya telah menjadi penafsiran established, yang berakar pada kebekuan sosial Barat.[3] Makalah Sitor ditanggapi Goenawan Mohamad dalam “Manipolisasi Sastra bukan Manipulasi Sastra”. Goenawan menolak hubungan pengabdian antara revolusi dan sastra, tapi hubungan satu hati satu tujuan.. Yang diabdi oleh sastra bukanlah revolusinya tapi cita-citanya, sebab revolusi bisa kehilangan cita-citanya kalau menjadikan dirinya sebagai cita- cita itu sendiri. Sebab sastra adalah juga perjuangan akan nilai-nilai yang obyektif, yang kekal dan universal.[4]Perdebatan di antara mereka sulit untuk bertemu karena bergerak pada level yang berbeda. Sitor memandang masalah sastra di sini sangat kontekstual politis, yaitu bagaimana sastra turut berperan dalam meneruskan revolusi yang belum selesai. Sedangkan Goenawan melihatnya lebih obyektif teoritis, bagaimana seharusnya sastra memainkan perannya. Selanjutnya ceramah Pramoedya Ananta Toer ( Lekra ) di FS UI 26 Januari 1963. Makalah ceramah ini adalah salah satu tulisan yang membahas Realisme Sosialis dengan cukup memadai. menekankan pempraktekan sosialisme dalam kreasi sastra, menjadikannya bagian integral dari mesin perjuangan umat manusia untuk menghancurkan penindasan rakyat pekerja oleh imperialisme. Sastra Realisme Sosialis bertanggungjawab untuk “membukakan kemungkinan-kemungkinan perkembangan hari depan yang menguntungkan bagi setiap dan semua tenaga yang berjuang, berproduksi dan berkreasi.” Sedangkan sastra borjuis yang berideologi Humanisme Universal, yang di Indonesia adalah jubah baru dari politik etik Belanda, hanya bertanggungjawab pada estetika dan masyarakat yang belum jelas ada atau tidak[5]. Terkadang masalah yang diangkat tidak signifikan dengan bahasa yang kasar. Misalnya ketika Bokor Hutasuhut ( Manikebu ) menuduh Pram kurang revolusioner karena waktu di tahanan Pram menulis renungan-renungannya dengan alat tulis yang diberikan oleh Belanda. Bokor juga menuduh Pram melupakan Rakyat dan Revolusi Indonesia ketika menulis Hoa Kiauw di Indonesia, karena itu Pram ditangkap dan dipenjara. Pramoedya Ananta Toer meminta Bokor Hutasuhut memeriksa proses verbal-nya di polisi, di mana Pram mengatakan bahwa pengubahan sistem ekonomi dan bukan personalia ekonomi yang memberikan rahmat kepada Rakyat dan Revolusi Indonesia. Walau Pram sudah ditahan dan lalu bebas, dia tetap yakin dengan pandangannya itu dan siap mempertanggungjawabkannya lagi di pengadilan.[6]
Dukungan terselubung militer ini menjadi terbuka ketika kelompok Manikebu mengadakan Konprensi Karyawan Pengarang Indonesia 1-7 Maret 1964. Konprensi ini diadakan terutama untuk memberi wadah pada para pendukung Manikebu, semacam pelembagaan awal kegiatan mereka. Diharapkan lewat forum ini , mereka bisa merapatkan barisan menghadapi para penyerang, dengan mulai menterjemahkan gagasan menjadi aksi. Dukungan militer dalam konprensi ini mulai dari transportasi untuk para peserta dari luar Jakarta, penyediaan akomodasi dan tempat sampai mengirimkan wakilnya, Brigadir Jendral Soedjono sebagai ketua Presidium konprensi tersebut.
Keith Foulcher dalam bahasan Social Commitment in Literature and Arts Lekra melihat bahwa dominasi Lekra dalam perjalanan kebudayaan Indonesia setelah merdeka mendapat perlawanan secara politis dari militer, khususnya Angkatan Darat, lewat kelompok Manifes Kebudayaan. Keith Foulcher melihat perdebatan kebudayaan yang muncul setelah 13 tahun Lekra berdiri ini, adalah manifestasi dari usaha militer untuk membendung dominasi PKI dalam politik nasional, dengan mendukung gerakan Manifes Kebudayaan. Menurut Keith, militer melihat bahwa gerakan kebudayaan dari Lekra telah berubah menjadi gerakan politik, menjadi corong kebudayaan PKI.  kita melihat bahwa pretensi untuk memperjelas berbagai gejolak budaya di era 60-an Apa yang dipermasalahkan dalam perdebatan itu tidak jelas, tidak ada konsep yang secara konsisten terus dibahas, sehingga melahirkan pemahaman- pemahaman baru, kalau belum bisa disebut kesimpulan. Hal yang muncul kuat justru gejolak politik yang memakai wilayah kebudayaan. Pihak yang satu menerima politik sebagai panglima karena menganggap realitas politik yang ada harus dapat direpresentasikan dalam seni dan menjadi sikap kebudayaan secara umum. Pihak yang lain menolak intervensi politik dalam kebudayaan, dan melawannya secara politis, dengan terlibat dalam perseteruan politis yang direpresentasikan pihak yang menerima politik sebagai panglima tersebut. Lekra karena kedekatannya secara personal, bukan organisasional, dengan PKI banyak menyerap informasi dan pemahaman tentang kondisi politis paling baru dari PKI. Sedangkan untuk melawan dominasi Lekra di semua sektor kebudayaan, golongan Manikebu bersekutu dengan Angkatan Darat yang adalah saingan utama PKI dalam politik.


Daftar Pustaka

1.      Ismail , Taufik/D.S. Moeljanto, [ed], 1995, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk., Jakarta, Mizan dan HU Republika.
2.      Foulcher, Keith,1986, Social Committment in Literature and the Arts: the Indonesian “Institute of People’s Culture” 1950-1965, Victoria, Monash University Press.
3.      Karyanto, Ibe, 1997,        Realisme Sosialis Georg Lukacs, Jakarta, Jaringan Kerja Budaya dan Gramedia Pustaka Utama.
4.      Mohamad, Goenawan, 1993, Kesusasteraan dan Kekuasaan, Jakarta, Pustaka Firdaus
5.      Eagleton, Terry..2006.Teori Sastra Sebuah Pengantar Komprehensif,Yogyakarta. Jalasutra






[1] Joebaar, Ajoeb, 1959, “Perkembangan Kebudayaan Indonesia Sejak Agustus 1945 Dan Tempat Serta Peranan Lekra Di Dalamnya” dalam Dokumen Kongres Nasional I Lekra, Bagian Penerbitan Lekra, 1959. hlm.15.

[2] Ismail, Taufik/DS Moeljanto [ed], 1995, Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk., Jakarta, Mizan dan HU Republika, hlm. 26

[3] Ibid.hal 107
[4] Ibid,hal 116
[5] Ibid, hal 119.
[6] Dalam buku ini Pram membela golongan keturunan Tionghoa yang terkena PP no. 10 di mana mereka tidak boleh menjalankan usaha dagangnya di tingkat desa dalam rangka memberdayakan perekonomian pribumi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar