Kamis, 27 Desember 2012

THE ACT OF KILLING’ Mengapa Mereka Di Bunuh?



THE ACT OF KILLING’ Mengapa Mereka Di Bunuh?                                     

“Sebaik-baiknya Manusia Adalah Menjadi Manusia Yang Menghargai Hidup’
Agung Nugroho


Kajian mengenai pembunuhan massal 1965-1966 di Indonesia, bahkan kajian atas politik negara secara umum, akan mengalami perombakan dengan diluncurkannya film dokumenter The Act of Killing yang disutradarai Joshua Oppenheimer .
The Act of Killing berbeda dari berbagai film dokumenter dengan tema serupa yang selama ini pernah ada. Inilah film panjang pertama tentang pembunuhan massal 1965-1966 yang menampilkan para pelaku pembantaian, bukan korban atau simpatisan, sebagai tokoh utama, seperti dalam beberapa film dokumentar yang dibuat pasca reformasi seperti The Mass Greve dan Shadow Play serta banyak yang lainnya. Dalam film ini, mereka mantan tokoh organisasi paramiliter Pemuda Pancasila yang ikut membantai ratusan orang pengikut atau yang diduga komunis di Sumatra Utara, sebagai bagian dari pembantaian berlingkup nasional yang seluruhnya memakan hampir satu juta jiwa.
Selama ini berbagai film pasca 1998 mengenai pembunuhan massal 1965 atau dampak susulannya dibikin khusus untuk memberi suara bagi para penyintas (survivor) dan anggota keluarga mereka, terkadang disertai komentar simpatik dari narasumber ahli. Setahu saya paling sedikit sudah ada 16 judul film semacam itu, produksi anak bangsa, selain film asing dengan topik yang sama.
Berbagai film itu mengakhiri kebisuan di layar lebar di negara ini hampir seperempat abad. Beberapa perempuan lanjut usia dan ringkih muncul di sebagian besar film tersebut, berbicara dengan bersemangat tentang penderitaan tiada akhir yang mereka alami, serta mengutuk ketidakadilan dan kegagalan pemerintah untuk mengakui kebiadaban yang telah terjadi.
Berbagai film bertema 1965 selama ini disusun dengan pemilahan tegas antara pahlawan yang baik ibarat malaikat dan tokoh penjahat seperti setan. Mirip dengan film-film propaganda Orde Baru tentang kejahatan PKI. Dalam hal ini, The Act of Killing luar biasa dan sekaligus merisaukan, karena secara radikal menggugat paradigma hitam-lawan-putih yang selama ini berkuasa.
Lepas dari tayangan film dokumenter tersebut, sungguh bijaksana kalau kita meihat latar belakang sejarah mengapa mereka ( PKI ) dibunuh? Sebuah pertanyaan dari kita semua sebagai generasi muda untuk menuntut hak suatu jawaban yang jujur dan terbuka bagi kaum tua, agar sejarah kelam bangsa ini tidak terulang lagi dimasa yang akan datang 
Untuk mengerti mengapa Peristiwa pembantai massal 65 terjadi, sebelum kita memeriksa sebuah peristiwa  yang sering berkaitan dengan Peristiwa 65/66 yakni Gerakan 30 September atau G-30-S kita harus memeriksa latar balakang suasana politik di Indonesia pada dekade enam puluhan. Di samping itu, kita harus mengerti semua kejadian politik di Indonesia pada waktu itu dalam konteks internasional yaitu Perang Dingin.Ada banyak orang yang sudah berkata tentang segitiga kekuasaan di Indonesia pada waktu itu, terdiri dari Angkatan Darat Republik Indonesia, Partai Komunis Indonesia dan penyeimbangnya adalah Presiden Sukarno. Pandangan ini mengabaikan umat Islam yang sangat penting dan memang berperan dalam Peristiwa 65/66.
Tetapi, yang penting di suasana politik di Indonesia pada waktu itu adalah sikap Sukarno yang sangat anti-kolonialisme, anti-imperialisme dan semakin dianggap sebagai “kiri’. Politik negeri di bawah Sukarno bernama"bebas-aktif’ yang dimaksud adalah bahwa politik luar negri Indonesia pada waktu itu tidak mendukung Uni Soviet atau Amerika Serikat
dua pihak yang saling melawan dalam Perang Dingin, Indonesia di bawah Sukarno sudah pernah punya hubungan dengan Amerika Serikat dan sudah pernah diberi bantuan dari AS. Namun dimikian, pada dekade enam puluhan Indonesia lebih dekat Uni Soviet (yang membantu Indonesia melawan Belanda di Irian Jaya), lalu Cina.
Pada tanggal 1Januari, 1965,Sukarno mencabut keanggotaan Indonesia dari PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) dan mengatakan kalimat yang terkenal  "Go to hell America with your aid". Kemudian. Sukarno membuat AS marah lagi karena dia mengakui Front Pembebasan Nasional Vietnam Selatan atau "Viet Cong" dan menghentikan hubungan Indonesia dengan Saigon. Sukarno juga membuat marah suatu negara Barat lain di samping AS, yakni Inggris. Konfrontasi dengan Malaysia juga memberikan Inggris sebuah motif untuk Menyingkirkan Sukarno. Sebenamya, Sukarno membagi dunia sehabis Perang Dunia ke-2 menjadi negara-negara NEFO dan OLDEFO (atau New Emerging Forces dan Old Established Forces) adalah sangat tidak strategis untuk Inggris, tetapi lebih tidak strategis lagi untuk AS yang sedang berusaha menguasai seluruh dunia untuk tujuan-tujuan kapital global di bawah propaganda Perang Dingin.
Peristiwa 65/66 harus dimengerti dalam konteks internasional yaitu Perang Dingin. Walaupun barangkali orang Indonesia yang miskin atau orang biasa di desa mungkin tidak begitu tahu atau peduli tentang Perang Dingin itu, kalau tidak ada Perang Dingin waktu itu, pembantaian massal yang terjadi pada tahun 65/66 pasti tidak akan terjadi sampai jumlah sedemikian besar. Mengapa tidak? Sebelum Oktober 1965 ada keseimbangan kekuasaan di antara PKI dan musuh-musuhnya di Indonesia. Memang ada beberapa korban dari kedua belah pihak dan hal itu seperti biasa dalam sejarah Indonesia. Sampai Oktober 1965, secara umum, masih ada hukuman untuk orang-orang yang menjadi pembunuh. Tetapi, segalanya berbeda setelah pagi Tanggal 1Oktober. Saat itu, suatu proses dimulai oleh Soeharto yang berakibat tidak adanya hukuman lagi buat orang-orang yang membunuh PKI.
Sebenamya Soeharto dan orde baru mendorong pembunuhan PKI sampai ada suasana yang sangat sulit untuk banyak orang membuktikan bahwa mereka bukan PKI kecuali kalau mereka melawan PKI sendiri. Mengapa Soeharto melakukan ini? G-30-S merupakan propaganda yang sangat berhasil oleh Soeharto untuk menciptakan sebuah kambing hitam yang disalahkan untuk masalah-masalah terbesar dan perpecahan di masyarakat Indonesia. G-30-S memberikan Soeharto alasan untuk "membersihkan" kemudian menyatukan Angkatan Darat (AD), dan menyalahkan masalah-masalah ekonomi di Indonesia kepada PKI. Yang paling penting buat Soeharto G-30-S juga menjadi suatu alat untuk menyingkirkan Sukarno dari kekuasaan. Soeharto langsung memulai kampanye propaganda yang berpengaruh sekali dan memang dipenuhi dengan kebohongan terutama tentang apa yang terjadi di Lubang Buaya.
Sukarno tahu propaganda itu salah dan juga tahu PKI sebagai partai politik yang legal bukan dalang di balik G-30-S, dia secara benar tidak akan mengutuk PKI. Oleh karena itu, Sukarno digambarkan sebagai simpatisan PKI, dan di lingkungan yang diciptakan oleh Soeharto pada waktu itu, posisi Sukarno menjadi semakin lemah. Bagaimana Soeharto bisa melaksanakan proses tersebut? Ambisi-ambisi politik Soeharto sangat sesuai dengan ambisi-ambisi Perang Dingin AS, yaitu, menggeser Kaum Merah dari kekuasaan dengan cara apapun lebih baik dibunuh. Atau lebih tepat lagi, menggeser pemimpin atau partai politik siapapun yang tidak mematuhui perintah dari pemerintah AS dan lembaga-lembaga berkaitan seperti Bank Dunia dan Dana Keuangan Internasional waktu mereka berusaha menguasai seluruh dunia sehabis Perang Dunia ke-2 atas nama Demokrasi Liberal (atau Kapaitalisme Global). Jadi, walaupun Sukarno adalah pemimpin Nasionalis, bakan Komunis, dia dianggap sebagai Komunis oleh AS karena dia tidak bisa dikuasai.
Bagaimana AS bisa memanipulasi peristiwa-peristiwa di pihak lain dunia? Sebenamya yang dilakukan oleh AS dan Soeharto adalah untuk melegalkan dan mendorong musuh-musuh PKI di Indonesia untuk menghancurkan PKI tanpa dihukum. Sebenarnya, sebagian sebagian masyarakat Indonesia sendiri bertanggung jawab untuk pembantaian PKI. Di samping Angkatan Darat, juga ada organisasi Islam yang paling bertanggung jawab yaitu Pemuda Pancasila, Nadhatul Ulama dan kaum muda bersenjata namanya Ansor dan Banser, dan partai politik lain-lainnya. Jadi, dengan cara ini, ada koordinasi dari tiga tingkat untuk menghancurkanPKI, yaitu, tingkat internasional, tingkat nasional dan tingkat lokal, dan semua tingkat harus diteliti jika kita ingin mengerti bagaimana Peristiwa 65/66 bisa terjadi, dan memang betul, interaksi dari tiga tingkat tersebut menarik sekali. Tetapi, mengapa semua orang ini mau membunuh orang PKI semuanya yang setia kepada pemimpin Indonesia, yakni Sukarno? Kalau di tingkat lokal, terutama di Sumatra tindakan PKI berupa gerakan penghuni liar dan kampanye melawan bisnis asing di perkebunan-perkebunan di Sumatra memicu aksi balasan yang cepat terhadap orang-orang komunis. Di Aceh sebanyak 40.000 orang dibantai, dari sekitar 200.000 korban jiwa di seluruh Sumatra.  Pemberontakan kedaerahan pada akhir 1950-an semakin memperumit peristiwa di Sumatra karena banyak mantan pemberontak yang dipaksa untuk berafiliasi dengan organisasi-organisasi komunis untuk membuktikan kesetiaan mereka kepada Republik Indonesia. Berhentinya pemberontakan tahun 1950-an dan pembantaian tahun 1965 oleh kebanyakan masyarakat Sumatra dipandang sebagai "pendudukan suku Jawa".  Di Lampung, faktor lain dalam pembantaian itu nampaknya adalah imigrasi suku Jawa
 Jawa Timur, ada fenomena namanya "aksi sepihak". Apa itu"aksi sepihak"? Aksi sepihak itu biasanya dilaksanakan olehBTI (Barisan Tani Indonesia), sebuah organisasi tani yang berafiliasi kepada PKI. Kalau ada aksi sepihak banyak sekali orang tiba-tiba datang ke tanah atau sawah dan langsung menggarap tanah tersebut secara terpaksa, yaitu tanpa izin dan tanpa diketahui pemiliknya.
Sering kali, tanah yang menjadi sasaran dimiliki oleh Tuan-tanah yang Muslim dan santri atau AD. Mengapa PKI dan BTI berpendapat bahwa mereka punya hak untuk redistribusi tanah sendiri? Karena pada tahun 1960 ada undang-undang "land reform" dan sampai tahun 1963 UU tersebut masih belum dilaksanakan. "Aksi sepihak" merupakan suatu cara untuk memberi tekanan kepada birokrasi yang terlambat, sering kali karena ada banyak orang di birokrasi tersebut yang lebih suka status quo. Mungkin "aksi sepihak" itu faktor yang paling penting di tingkat lokal, dan menyebabkan konflik-konflik di tingkat lokal dianggap "konflik kelas" atau "konflik golongan". "Aksi sepihak" itu merupakan salah satu strategi PKI yang paling menakutkan dan membuat marah musuh-musuh PKI karena "golongan atas" atau Tuan-tuan tanah tersebut berpendapat bahwa "aksi sepihak" akan merugikannya. Akan tetapi, "konflik kelas" itu kurang cukup untuk menjelaskan konflik di tingkat lokal. Konflik tersebut bukan hitam-putih, dan sebetulnya sangat rumit.
 Ada banyak orang golongan bawah atau orang miskin yang melawan PKI dan BTI. Juga ada orang golongan masyarakat tertinggi yang mendukung PKI. Sering kali, konflik di desa waktu itu dienggap sebagai sebagai konflik agama, yaitu, konflik di antara orang Islam santri dan abangan. Kalau misalnya di Kediri, Jawa Timur, itu tempat yang pada waktu bersamaan punya banyak sekali anggota Nadhatul Ulama dan PKI juga. Kedua kelompok ini saling melawan sejak awalnya, tapi pada dewarsa enam puluhan "aksi sepihak" atau "land reform" dan serangan balasan oleh Tuan-tuan tanah Muslim pada tahun 1963-64 menjadi semakin keras dan dipenuhi dengan kebencian. Juga ada hubungan "patron-client", dan ini merumitkan tingkat lokal lagi. Sering kali, kesetiaan dari klien kepada patron membesarkan jumlah orang yang merasa takut karena "aksi sepihak". Misalnya, kalau buruh tani krasan dan sudah kerja lama untuk pemilik tanah, mungkin dia juga takut kalau pemilik baru tidak memperbolehkan dia kerja di situ lagi. Faktor ini juga menjelaskan bagaimana konflik bisa meledak di antara orang miskin sendiri tentang "land reform" pada waktu semuanya bukan pemilik tanah.
Konflik-konflik yang ada di tingkat lokal juga dilukiskan sebagai bukan konflik kelas
atau konflik agama, tetapi konflik di antara orang-orang yang mendukung "status-quo" dan
pendukung-pendukung perubahan radikal. Sering kali, terutama di Jawa Timur, tiga kategori
sejalan, misalnya seseorang adalah orang Muslim abangan, adalah orang golongan bawah atau bukan pemilik tanah dan juga mendukung perubahan radikal. Atau dengan kata lain, seseorang adalah pemilik tanah atau anggota kelas atas, juga orang Muslim santri, dan juga mendukung "status-quo". Yang penting, alasan-alasan untuk konflik yang spesifik berbeda-beda tergantung pada lokasi di Indonesia. Misalnya, aliran-aliran santri dan abangan pasti tidak penting di pulau Bali.
Setelah ledakan Gunung Agung pada tahun 1963 yang menhancurkan 62.000 hektar tanah produktifdi Bali ada banyak dukungan untuk kebijakan "land reform" yang mengusulkan 2 hektar sawah minimal untuk setiap rumah petani. Walaupun tidakada cukup tanah di Bali untuk meneapai keinginan tersebut, kemungkinan bahwa sedikit tanah diberikan kepada orang biasa dan buruh tani di Bali merupakan faktor penting untuk kesuksesan PKI dan BTI di Bali, dan memang betul, aksi sepihak dan konflik kelas merupakan alasan besar untuk pembantaian massal di Bali pada tahun'65/'66 setelah G-30-S. "Sebenamya, tingkat kekerasan setelah G-30-S di Bali temyata seimbang dengan sukses dan radikalisme kampanye land reform dua tahun sebelumnya".
Konflik di tingkat kabupaten dan desa sangat berbeda dari konflik di tingkat nasional dan terutama tingkat internasional, tetapi masih sangat berkaitan. Perjuangan di desa yang sangat menakutkan kekuasaan-kekuasaan yang ada di desa juga memberi kekuasaan kepada
PKI di Jakarta dan jangan lupa PKI adalah partai Komunis yang paling besar di seluruh dunia
selain partai Komunis Rusia dan Cina. Di dalam konteks nasional di Indonesia, Sukarno mencoba menguasai keseimbangan kekuasaan pada situasi politik di Indonesia di antara Partai Nasionalis Indonesia (PNI), PKI dan Islam diwakili oleh Nadhatul Ulama (NU) melalui kebijakan NASAKOM (nasionalisme, agama dan komunisme) tetapi yang penting adalah AD menolak secara keras percobaan Sukarno untuk membuat AD sebagian NASAKOMIL (yaitu nasionalisme, agama, komunisme dan militer).
karena tindakan ini oleh militer menunjukan secara jelas jumlah kekuasaan yang dimiliki oleh militerwaktu itu. Sukarno bisa memasukkan semua lembaga politik yang berkuasa di Indonesia dalam satu lembaga dan menguasai mereka dan mendorong mereka
untuk bekerja sama - semuanya kecuali lembaga yang paling berkuasa, yaitu militer. Dan
kemandirian militer strategis sekali karena waktu G-30-S terjadi, militer siap untuk menindak
sendiri, tanpa memperhatikan keinginan Sukarno. Dalam konteks internasional, konferensi Asia-Afrika dan Gerakan Non-Blok, "konfrontasi" dengan Malaysia (yang dilawan oleh AD) dan penarikan Indonesia dari PBB dan sikap Sukarno kepada AS secara umum menyebabkan pemberhentian berangsur-angsur bantuan finansial dari AS ke Indonesia pada tahun 1962 sampai 1965. Walaupun demikian, bantuan dari AS kepada militer Indonesia dinaikkan, sama dengan jumlah perwira dilatih di AS  juga dinaikkan dari 500 sampai tahun 1962 ke 4000 sampai tahun 1965.
Mengapa AS mau melatih militer dari negara yang punya hubungan yang semakin buruk dengan mereka? Mungkin mereka sudah tahu ada sesuatu akan terjadi...Hal ini tidak harus mengherankan kita kalau kita lihat bagaimana AS campur tangan dengan urusan-urusan banyak negara di seluruh dunia. Hal ini tidak harus mengherankan kita lagi kalau kita mengingat bahwa ada banyak gosip/isu pada waktu itu yang mengatakan bahwa Sukarno sakit dan semakin lemah. Kalau kita memikir secara logika tentang hal tersebut, itu memang luar biasa kalau militer Indonesia lembaga yang paling berkuasa di Indonesia dan pemerintah AS  lembaga yang paling berkuasa di seluruh dunia  tidak mempunyai suatu rencana untuk mengambil kekuasaan di Indonesia kalau Sukarno meninggal dunia atau kesempatan lain terjadi. Dan kita jangan lupa, AS dalam rupanya CIA sudah campur tangan dalam urusan Indonesia sebelum tahun 1965. CIA menyalahgunakan konflik antara pemerintah Sukarno dan gerakan-gerakan di Sumatera dan Sulawesi Utara untuk mendukung pemberontakan PRRI/Permesta pada tahun 1957/58. Dan sebelum itu, waktu ada pemilihan umum pada tahun 1955, CIA memberi sejuta dolar AS kepada partai yang paling anti Komunis yakni Masyumi.
            Akhir Sebuah Propaganda? Entah apa persisnya yang ingin dicapai para protagonis film ini. Di layar, mereka mengaku hanya ingin menyampaikan kebenaran sejarah apa adanya kepada seluruh dunia, tidak hanya Indonesia. Pengakuan semacam ini mudah menjadikan mantan para pembunuh ini sebagai pahlawan, seperti diltampilkan dalam sebuah acara talk-show di TVRI lokal (dan tampil dalam The Act of Killing).
Oppenheimer tidak memberikan kesempatan kepada para pembunuh itu untuk menobatkan-diri sebagai pahlawan. Namun, dia juga tidak menampilkan mereka sebagai orang-orang yang bodoh atau momok. Dalam salah satu adegan yang tampaknya keluar dari naskah, salah seorang preman senior yang terkenal kejam dan senang membanggakan diri, mendadak ambruk karena tak mampu menahan emosi atau rasa bersalah, di saat dilakukan pengambilan gambar dan dia berperan sebagai seorang tahanan komunis yang dulu pernah disiksanya sebelum dibunuh.
Propaganda resmi tentang “G30S/PKI” berusia lebih panjang ketimbang rezim Orde Baru yang menciptakannya. The Act of Killing membuka peluang memudar propaganda yang selama ini dikeramatkan negara. Ini bisa terjadi, jika salinan film dokumenter ini tersedia dan dijangkau jutaan penonton Indonesia melalui youtube yang bisa diakses di warnet atau ponsel pintar di tanah air, salah satu pengguna Facebook terbesar di dunia dan pasar terbesar DVD bajakan.
Terakhir, sebuah kalimat yang harus saya ulang kembali untuk mengembalikan memori kita, agar tidak terjangkit virus lupa, apatis dan teraleanasi oleh suatu kebenaran sejarah, mengganggap diri kita generasi yang humanis tetapi melupakan peristiwa 65 dimana keadilan tidak ditempatkan pada tempatnya. “Sebuah pertanyaan dari kita semua sebagai generasi muda untuk menuntut hak suatu jawaban yang jujur dan terbuka bagi kaum tua, agar sejarah kelam bangsa ini tidak terulang lagi dimasa yang akan datang’. 
Read More >>

HISTORIOGRAFI ISLAM



HISTORIOGRAFI ISLAM
 A.    Historiografi pada Masa Awal Islam
Kaum muslimin adalah pembawa Islam mencapai kemajuan dalam penulisan sejarahnya. Mereka menempatkan sejarah sebagai sebuah ilmu yang bermanfaat, dan sejarawannya telah menuliskan banyak buku. Pertama-tama, karya sejarah yang paling banyak dikarang adalah dengan tujuan mengambil manfaat dan teladan, karena mereka mendapatkan hal yang sama dalam al-Quran tentang kisah-kisah umat-umat yang telah lalu.[1][6] Oleh karena itu, karya-karya sejarah pertama berisi berita penciptaan bumi, turunnya Nabi Adam dan kisah para nabi, dan riwayat hidup Nabi Muhammad.[2][7] Historiografi Islam lebih mudah dipelajari dan dipahami dalam kerangka umum peradaban Islam.[3][8]
Menurut Danar Widiyanta, beberapa penelitian kebudayaan menunjukkan bahwa:[4][9]
a.       Bahwa Islam sebagai suatu agama dunia telah menunjukkan suatu perkembangan yang mengagumkan di dalam sejarah dunia.
b.      Lebih jauh Islam sebagai agama telah memancarkan pula suatu peradaban.
c.       Di dalam perkembangan peradaban Islam, tradisi-tradisi kebudayaan asing diserap, dimodifikasi, kemudian yang tidak sesuai dihilangkan.
d.      Peradaban Islam menyajikan suatu sistem yang lengkap mengenai pemikiran dan tingkah laku yang berkembang sebagai suatu dorongan utama yang meliputi hubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan dengan manusia sendiri.
Menurut Badri Yatim, ada dua faktor pendukung utama berkembangnya penulisan sejarah dalam umat Islam[5][10], yakni:
1.      Al-Quran, kitab suci umat Islam memerintahkan umatnya untuk memperhatikan sejarah.
2.      Ilmu hadits.
Hal-hal yang mendorong perkembangan pesat bagi penulisan sejarah Islam menurut penafsiran Danar Widiyanta adalah:[6][11]
1.      Konsep Islam sebagai agama yang mengandung sejarah.
Nabi Muhammad SAW adalah sebagai puncak dan pelaksanaan suatu proses sejarah yang dimulai dengan terciptanya alam dunia ini. Nabi juga merupakan pembaharuan sosial agama yang melaksanakan kenabiannya dan untuk memberikan tuntutan bagi masa depan. Jadi nabi telah menyediakan suatu kerangka bagi suatu wadah sejarah yang amat luas untuk diisi dan ditafsirkan oleh para sejarawan.
2.      Adanya kesadaran sejarah yang dipupuk oleh Nabi Muhammad.
Peristiwa sejarah masa lalu dalam seluruh manifestasinya, amat penting bagi perkembangan peradaban Islam. Apa yang telah dicontohkan oleh nabi semasa hidupnya merupakan kebenaran sejarah yang harus menjadi suri teladan bagi umat Islam selanjutnya. Kesadaran sejarah yang besar ini, menjadi pendorong untuk penelitian dan penulisan sejarah.
Jika dilihat dari tahap perkembangannya, pada awalnya semua informasi disimpan dalam ingatan, peristiwa sejarah itu diingat dan diceritakan berulang-ulang secara lisan. Kemudian metode penyampaian lisan ini (oral transmission) dilengkapi dengan catatan tertulis yang tidak dipublikasikan, yaitu semacam pelapor catatan.[7][12] Pada saat itu tradisi ini disebut dengan al-ayyam (arti semantiknya adalah hari-hari penting) dan al-ansab (artinya silsilah).[8][13]
Karya-karya yang dihasilkan oleh sejarawan pada masa itu sebagian besar hilang dan banyak yang dimusnahkan. Dikatakan hilang karena pada waktu itu tidak ada lembaga penerbitan dan bahan-bahan tulis yang tahan lama.[9][14] Banyak yang dimusnahkan karena adanya pergantian kekuasaan sehingga buku-buku tersebut dimusnahkan. Diceritakan, pembumihangusan Kota Bagdad oleh tentara Hulagu Khan pada tahun 1258 M telah memusnahkan banyak perpustakaan dan mesjid yang berisi kitab-kitab yang ditulis cendikiawan muslim sampai saat itu. Permusuhan Syi’ah dan Sunnah, juga mengakibatkan banyaknya buku-buku yang musnah. Setelah Daulat Fathimiyah jatuh (di Mesir) pada tahun 567 H/ 1171 M, daulat sesudahnya, terutama Ayyubiyah yang sangat fanatik terhadap Sunnah, berusaha menghapus kebesaran Syi’ah di Mesir terutama buku-bukunya.[10][15]

B.     Perkembangan Historiografi pada Masa Islam
Penulisan sejarah Islam pertama kali masih bersifat Arab murni, tidak ada peran Persia atau Yunani, dan penulis sejarahnya pada generasi pertama adalah orang-orang Arab. Akan tetapi, dalam perkembangannya kemudian mendapat pengaruh dari Ahli Kitab dan Persia. Generasi pertama penulis sejarah, dalam menulis mencantumkan isnad (rangkaian pemberi khabar). Biografi ini dengan cepat berkembang. Al-Zuhri adalah orang pertama yang mengembangkannya. Dia berusaha mengaitkan satu hadits dengan yang lain.[11][16]
Menurut Husein Nashshar menyimpulkan bahwa penulisan sejarah Arab Islam tumbuh dari dua arus yang berbeda :[12][17]
a.       Arus lama, yang terdiri atas cerita-cerita khayal dan folklore, yang dipengaruhi oleh corak sejarah Arab klasik yang disampaikan oleh narator-narator yang berpindah dari Arab Utara, dalam bentuk al-ansab dan al-ayyam dan cerita-cerita tentang raja-raja Arab Selatan, serta riwayat penaklukan mereka. Biasanya, arus lama ini mengambil bentuk syair. Kisah-kisah ini tidak didasarkan atas penanggalan (kronologis) kejadian, antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya tidak ada hubungannya.
b.      Arus baru yang dimunculkan Islam, yaitu arus biografi, yang terdiri atas berita-berita autentik dan mendalam, cabang dari ilmu hadits, oleh karena itu melalui kritik dan seleksi, terdiri dari kisah-kisah yang benar dan terkadang juga ada khayal yang terdapat dalam diri rasul. Sejarawan mengumpulkan kisah-kisah itu, menyusunnya, menghubung-hubungkan antara satu dengan yang lain, dengan disinari oleh ayat-ayat al-Quran.
Bentuk dasar karya Islam adalah pernyataan sederhana, peristiwa-peristiwa lepas, tanpa bobot, walaupun aneka ragam, penonjolan watak, semuanya disusun sekaligus, tanpa suatu penjelasan mengenai sebab-musababnya.[13][18] Beberapa bentuk tersebut berupa khabar, kronik, biografi dan sejarah umum. Menurut Husein Nashshar, perkembangan penulisan sejarah di awal masa kebangkitan Islam akan terlihat adanya tiga aliran yang jelas, yaitu aliran Yaman, aliran Madinah dan aliran Irak.[14][19] Tetapi, banyak pengamat historiografi Islam tidak memasukkan aliran Yaman sebagai aliran penulisan sejarah di masa awal Islam. Pada penulisan sejarah di awal masa Islam, mereka hanya menyebutkan dua aliran saja (aliran Madinah dan Irak). Mereka berpendapat bahwa aliran Yaman telah bercampur antara informasi historis dengan dongeng atau legenda, dan bahwa historiografi Yaman itu merupakan  kelanjutan dari historiografi Arab pra-Islam sehingga aliran Yaman tidak dimasukkan dalam aliran historiografi masa awal Islam. Namun, para pengamat sepakat bahwa ketiga aliran itu dalam perkembangannya akan melebur menjadi satu, meskipun dengan corak dan tema yang semakin beragam.

C.    Bentuk dan Isi Karya Sejarah Islam
Perlu diketahui bahwa historiografi Arab pra-Islam dimulai dari bentuk sejarah lisan. Sejarah lisan itu tertuang dalam bentuk al-Ayyam dan al-Ansab. Kabilah-kabilah Arab meriwayatkan al-Ayyam terdiri atas perang-perang dan kemenangan, untuk tujuan membanggakan diri terhadap kabilah-kabilah yang lain, baik dalam bentuk syair maupun prosa yang diselang-selingi syair.[15][20] Sementara al-Ansab adalah jamak dari nasab yang berarti silsilah (genealogy).[16][21] Menurut Danar Widiyanta, beberapa contoh karya sejarah masa itu adalah sebagai berikut:[17][22]
1.      Urwah ibn. Az-Zubyar (650-711), salah seorang sarjana muslim yang telah menulis buku Peperangan oleh Nabi.
2.      Al-Zuhri (670-740), telah menulis sebuah karya mengenai “Silsilah Bangsanya”. Selain itu juga ia menulis kemungkinan untuk kepentingan pribadi masa kekuasaan khalifah.
3.      Musa ibn. Uqbah (758/759), berupa fragmen singkat, yang tidak seluruhnya mengandung sejarah.
4.      Ibn. Ishaq (704-767), menulis karya sejarah besar yang paling tua yang masih terpelihara sampai sekarang, walaupun mengalami perbaikan kemudian yaitu Biografi Nabi (Sirah). Karya ini bertalian dengan sejarah sebelum Islam, perikehidupan nabi yang dipaparkan secara terperinci serta menulis sejarah para khalifah.
Perhatian sejarah pra-Islam hanya terarah pada tradisi lisan itu. Gaya penyampaiannya dilakukan secara berantai, oleh Danar Widiyanta membaginya menjadi bentuk khabar, kronik, biografi, dan sejarah umum,[18][23] sebagai berikut.
1.      Khabar
Bentuk historiografi yang paling tua yang langsung berhubungan dengan cerita perang dengan uraian yang baik dan sempurna ditulis dalam beberapa halaman saja, dinamakan khabar. Dalam konteks karya sejarah yang lebih luas, khabar sering dipergunakan sebagai “laporan”, “kejadian” atau “cerita”. Ada tiga hal yang merupakan ciri khas bentuk khabar, yaitu:
a.       Tidak terdapat hubungan sebab akibat diantara dua atau lebih peristiwa-peristiwa.
b.      Khabar sudah berakar jauh sebelum Islam, maka cerita-cerita perang, bentuk khabar tetap menggunakan cerita pendek. Selalu disajikan dalam bentuk dialog antara pelaku peristiwa, sehingga meringankan ahli sejarah melakukan analisa terhadap peristiwa.
c.       Bentuk khabar lebih banyak merupakan gambaran yang beraneka ragam. Sebagai cerita pertempuran yang terus-menerus, dan sebagai suatu ekspresi yang artistik, khabar juga memerlukan penyajian secara puisi.
Contoh beberapa karya sejarah yang menggunakan bentuk khabar:
a.       Ali ibn Muhammad al-Madaini (wafat tahun 831). Diantara sejumlah karyanya muncul monograf tentang pertempuran-pertempuran perorangan dan penaklukan-penaklukan yang dilakukan oleh orang Islam. Dari sekian banyak monografnya yang berhasil ditemukan dalah al-Murdifat min Quraysy (wanita Quraisy yang banyak suami).
b.      Abu Mihnaf Luth ibn Yahya (wafat tahun 774).
c.       Al-Haitsam ibn Adi (wafat tahun 821) dan ibn Habib. Karyanya merupakan kumpulan monograf dalam bentuk khabar atau nasab.
2.      Kronik
Penyusunan sejarah berdasarkan urutan penguasa dan tahun-tahun kejadian. Kronik ini bisa ditambah dengan hal-hal baru dalam bentuk suplemen yang lazim disebut “dyal” atau ekor.
Contoh karya sejarah (kronik) tertua:
a.       Karya Khalifah ibn. Khayyat, dalam bahasa Arab, ditulis sampai tahun 847, kira-kira delapan tahun sebelum penulisnya meninggal. Ia memulai uraiannya mengenai arti tarikh dan uraian singkat mengenai sejarah Muhammad pada permulaan hayatnya.
b.      Ya’kub ibn. Sufyan (wafat tahun 891). Kitab sejarahnya ditulis pada pertengahan kedua abad ke-9. Ditulis menurut urutan tahun ditambah beberapa kutipan-kutipan.
c.       Ibn. Abi Haithamah (wafat tahun 893), juga menunjukkan fasal-fasal dengan urutan tahun walaupun terbatas bila dibandingkan dengan karya lainnya secara keseluruhan.
d.      Ibn. Jarier al-Tabari (923), karya standar terdiri beberapa jilid mengenai historiografi kronik ialah Tarikh al-Umam wa al-Muluk. Uraian-uraian itu meliputi sejarah nabi di Mekah, istri-istri Rasulullah, orang-orang murtad, biografi Abu Bakar, dan sebagainya. Tulisannya yang lain, adalah Adab al Manasik, Adab al-Nufus, Iktilaf ulama al-Amshar, Tahdzib Atsar, Jami al-Bayan al ta’wil Ayi al-Quran, al-Jami’ fi al Qiraat, Zail al Zail al Muzayyal dan lain-lain. Tulisannya banyak mempengaruhi arah tulisan selanjutnya.
3.      Biografi
Biografi disusun dalam kelompok yang lazim disebut “tabaqah” . Karya ini mencakup sejarah hidup orang-orang besar, tokoh-tokoh terkemuka serta orang-orang penting yang telah meninggal dalam waktu yang kira-kira sama. Di dalam masyarakat Islam ada beberap faktor mengapa biografi menjadi dominan:
a.       Biografi Nabi Muhammad SAW merupakan sumber utama bagi pembangunan masyarakat Islam.
b.      Meriwayatkan kehidupan Nabi Muhammad SAW secara terinci tergantung kepada para perawi secara individual, isinya dapat ditolak atau pun diterima tergantung pada data kehidupan perawi itu sendiri.
c.       Perjuangan di dalam menegakkan Islam sebagian besar ditunjukkan oleh keunggulan pribadi- pribadi pemimpinnya, yang telah sangat berjasa di dalam perjuangan itu.
Sejak abad ke-10, penulisan biografi menurut abjad merupakan cara yang diutamakan.
Beberapa karya biografi:
a.       Al-Dzahabi dalam kitabnya Tarikh al-Islam wa thabaqat masyahir a’lam sanggup menunjukkan tanggal lahir tiap-tiap tahun bagi nama-nama yang dicantumkannya dalam kitabnya.
b.      Khatib al-Baghdadi dalam kitab Tarikh Baghdad, tanggal kelahiran dan kematian disebutkan masing-masing di dalam permulaan penulisan biografi.
c.       Yaqut (1229), berjudul Irshad al-arib ila ma’rafat al-adib.
d.      Abi Usaybiah (1270), menulis tentang sejarah kedokteran disertai biografi ahli-ahli kedokteran. Tulisannya berjudul Ujun al-anba’ fi tabagat al atibba.
e.       Ibn. Khallikan (1282), biografi tokoh-tokoh terkemuka, berjudul wafayat al-A’yan. Buku ini pada mulanya hanya berbentuk manuskrip, kemudian diterbitkan oleh Ferdinand Wustenfild dalam tahun 1835-1840 dan merupakan suatu referensi dalam penulisan karyanya Geschichtschreiber der Araber yang terbit tahun 1882. Buku Ibn Khalikan juga diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh Mac Guckin de Slane (4 jilid) dengan judul Ibn Khallikans Biographical Dictionary terbit tahun 1843 di Paris-London.
4.      Sejarah Umum
Abad ke-9, kita hanya tahu dari judul-judul bukunya, menulis banyak sekali mengenai arti politik dan peristiwa-peristiwa khusus. Pada akhir abad ke-9, sejarah politik dikaitkan dengan sejarah pemikiran, dan mulai membicarakan berbagai gejala penting dari peradaban-peradaban yang pernah dikenal. Karya-karya itu diantaranya:
a.       Karya sejarah dari al-Yaqubi, berjudul Tarikh al-Yaqubi yang disebarkan oleh Goutsma di Leiden tahun 1883 terdiri atas dua jilid. Jilid pertama mengenai sejarah purbakala sejak Nabi Adam sampai pada masa agama Islam, dan di sini dimasukkan juga sejarah Israel, Hindu, Yunani, Romawi, Persia dan sebagainya. Jilid ke dua mengenai sejarah Islam yang berakhir pada masa khalifah al-Mutamid tahun 259H.
b.      Al-Mas’udi menulis tentang Muruj az-Zahab yang masih berpengaruh terhadap karya-karya selanjutnya. Al-Mas’udi juga memasukkan daftar raja-raja Eropa.
c.       Karya Muhammad Ibn Jarir al-Thabari berjudul Tarikh al-Umam wa al-Muluk. Al- Thabari menyajikan suatu uraian sejarah secara panjang lebar mengenai agama, hukum dan kejadian-kejadian politik lainnya. Kitab ini diterbitkan di Leiden atas usaha De Goeje tahun 1892 terdiri atas 23 jilid, kemudian dicetak di Mesir pada tahun 1906 terdiri atas  tiga belas jilid, kitab ini dijadikan sumber utama penulisan sejarah Islam sampai sekarang.
d.      Muskawiyah dengan karyanya Tajarib al-Umam. Dalam kitab ini dimasukkan uraian mengenai sejarah Persia kuno, dan hal-hal yang berhubungan dengan riwayat kerajaan Romawi dan Turki, kitab penulisan dan penelitiannya dilakukan secara teratur dan cermat.
e.       Rashid ad-Din Fadlallah (1318) dari Asia Tengah, karyanya mengenai Sejarah Umum (Jami‘at-tawarikh), ditulis dalam bahasa Persia. Merupakan hasil karya pertama mengenai sejarah Islam yang universal.
Dalam perkembangan selanjutnya, historiografi Islam diwarnai oleh aliran Yaman, Madinah dan aliran Irak. Aliran-aliran ini kemudian melebur menjadi satu. Peleburan ini dinamakan “pertemuan tiga aliran”, yang ditempatkan setelah pasal-pasal yang berisi pembahasan tiga aliran itu. Tiga aliran itu adalah sebagai berikut:
1.      Aliran Yaman
Disebut juga Arab Selatan. Riwayat-riwayat tentang Yaman dimasa silam kebanyakan dalam bentuk hikayat (al-qashash, cerita), sebagaimana al-Ayyam di kalangan Arab Utara. Isinya adalah cerita-cerita khayal dan dongeng-dongeng kesukuan. Aliran ini merupakan kelanjutan dari corak sejarah sebelum Islam. Penulisnya dapat dijuluki tukang hikayat (narator) dan kitab-kitabnya dapat dikatakan riwayat-riwayat sejarah (novel sejarah). Oleh karena itu, para sejarawan tidak menilai hikayat-hikayat itu sebagai memiliki nilai historis.[19][24]
Tokoh-tokohnya adalah sebagai berikut:
a.       Ka’b al-Ahbar
Nama lengkapnya adalah Abu Ishaq Ka’b al-Ahbar.[20][25] Ia berasal dari suku Dzu Ru’ain Himyar, yang melewati masa mudanya di Yaman sebagai pemeluk agama Yahudi dan memeluk agama Islam pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn al-Khaththab, sebagian menyebutkan pada masa pemerintaha Khalifah Abu Bakr al-Shiddiq. Kemudian ia pindah ke Syria dan tinggal di Hamash sampai meninggal dunia pada tahun 32 H, pada masa pemerintahan Utsman ibn Affan. Karyanya adalah Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi, dan Sunan al-Nasa’i.[21][26]
b.      Wahb ibn Munabbih
Ia lahir tahun 34 H. Ia banyak mempengaruhi penulisan sejarah Arab dengan memperkenalkan kandungan kitab-kitab suci Yahudi dan asal mula Talmud dalam sejarah Islam. Karena ia berdarah Persia, ia mentransmisikan cerita rakyat Yaman dalam penafsiran al-Quran dan dan penulis-penulis Maghazi. Ia adalah perintis penulisan al-Maghazi pada abad pertama Hijriah. Ia juga meriwayatkan sejarah bangsa Arab pra-Islam, bangsa-bangsa bukan Arab terutama yang bersumber dari kitab-kitab suci Yahudi dan Nasrani, menciptakan kerangka sejarah para nabi mulai dari Nabi Adam sampai dengan nabi Muhammad SAW, dan memasukkan unsur kisah ke dalam lapangan sejarah.[22][27] Karyanya adalah Ahadits al-Anbiya ‘wa al-Ibad wa Ahadits Bani Israil, al-Mbtada’, Qashash al-Anbiya, Mubtada’ al-Khalq, al-Mabda’, dan kitab al-Muluk al-Mutawajjah min Himyar wa Akhbaruhun wa Ghayr Dzalik.



c.       Abid Ibn Syariyyah al-Jurhumi
Ia hidup di dua masa, yakni masa pra-Islam dan masa Islam.[23][28] Ia tidak mendapatkan penghargaan di negerinya walaupun ia pernah ikut dalam perang Dahis. Ia pernah menulis dua buah buku yaitu Kitab al-Amtsal dan Kitab al-Muluk wa Akhbar al-Madhi.
2.      Aliran Madinah
Aliran ini muncul di Madinah, yaitu aliran sejarah ilmiah yang mendalam, yang banyak memperhatikan al-Maghazi (perang-perang yang dipimpin langsung oleh Rasulullah SAW) dan biografi nabi (al-Sirah al-Nabawiyah), dan berjalan di atas pola ilmu hadits, yaitu sangat memperhatikan sanad.
Sejalan dengan riwayat perkembangannya, para sejarawan dalam aliran ini terdiri dari para ahli hadits dan hukum Islam (fiqh). Mereka adalah[24][29] Abdullah ibn al-Abbas, Said ib al-Musayyab, Aban ibn Utsman ibn Affan, Syurahbil ibn Sa’ad, Urwah ibn Zubayr ibn al-Awwam, Ashim ibn Umar ibn Qatadah al-Zhafari, Muhammad ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Syihab al-Zuhri, dan Musa ibn Uqbah.
3.      Aliran Irak
Aliran Irak merupakan aliran yang terakhir dengan bidang cakupan lebih luas dari dua aliran sebelumnya. Langkah pertama yang sangat menentukan perkembangan penulisan sejarah di Irak yang dilakukan oleh bangsa Arab adalah pembukuan tradisi lisan. Hal itu dilakukan pertama kali oleh Ubaidullah ibn Abi Rafi, sekretaris Ali ibn Abi Thalib ketika menjalankan kekhalifahannya di Kufah.[25][30]
Disamping itu, Ubaidullah telah menulis buku berjudul Qadhaya Amir al-Mu’minin ‘Alayh al-Salam dan Tasmiyah man Syahad Ma’a Amir al-Mu’minin fi Hurub al-Jamal wa Shiffin wa al-Nahrawan min al-Shahahab Radhia allah Anhum. Oleh karena itu, ia dipandang sebagai sejarawan pertama dalam aliran Irak ini.[26][31] Pada penulisan sejarah ini, ia diikuti oleh Ziyad ibn Abih yang menulis buku dengan judul Matsalib Al-Arab.
Cakupan bidang yang luas dalam aliran ini dikatakan sebagai kebangkitan yang sebenarnya, tentang penulisan sejarah sebagai ilmu. Pada masa ini, pengaruh dari hadits telah ditinggalkan dan bersamaan dengan itu, terlihat adanya upaya meninggalkan pengaruh pra-Islam yang mengandung banyak ketidak-benaran, seperti dongeng-dongeng dan cerita khayal. Aliran ini melahirkan sejarawan-sejarawan besar dimasa kemudian, dan diikuti oleh hampir seluruh sejarawan yang datang kemudian.
Para sejarawan dari aliran Irak jumlahnya sangat banyak, yang terkenal adalah[27][32] Abu Amr ibn al-Ala, Hammad al-Rawiyah, Abu Mikhnaf, Awanah ib al-Hakam, Syayf ibn Umar al-Asadi al0Tamimi, Nashr ibn Muzahim, al-Haitsam ibn Udi, al-Mad’ini, Abu Ubaydah Ma’mar ibn Al-Mutsni al-Taymi, al-Ashma’I, Abu al-Yaqzhan al Nassabah, Muhammad ibn al-Sa’ib al-Kalibi, dan Haisyim ibn Muhammad al-Sa’ib al-Kalibi. Yang terpenting diantara mereka adalah Awanah ibn Al-Hakam, Sayf ibn Umar al-Asadi al-Tamimi, dan Abu Mikhnaf.[28][33]































































HISTORIOGRAFI ISLAM
PEMBAHASAN
HISTORIOGRAFI ISLAM Historiografi Islam adalah karya sejarah yang ditulis oleh penganut agama Islam dari berbagai aliran. (Abdulah, Taufik :1985 : 56). Adanya buku “Sejarah Peradaban Islam” karya Syalabi, yang isinya memaparkan mengenai keadaan bumi Arab sebelum masuknya Islam dapat dikatakan sebagai fenomena Hegemoni dari bangsa Arab dan terlahirnya Islam di Bumi Arab membuat penganut aliran agama Islam ditemukan di Jazirah tersebut. Namun demikian, tidak semua karya Historiografi Islam selalu identik dengan bahasa Arab. Hal ini bisa kita lihat dengan adanya penggunaan bahasa lainnya seperti bahasa Persia (pada awal abad kesepuluh), dan bahasa Turki (pada abad ke-16). Selain itu kita bisa temukan pula adanya golongan minoritas yang berada di bawah kekuasaan Islam, terutamanya adalah aliran Kristen Timur yang menulis karya sejarah sama dengan karya muslim. Adanya hasil karya sejarah yang hasil tulisan, bentuk, teknik dan nilainya telah menjiwai historiografi Islam sejak abad pertengahan hingga abad ke-19, perlahan-lahan kini telah ditinggalkan. (Abdulah, Taufik :1985 : 56).

1. Asal Mula Sejarah
Perkembangan penulisan sejarah Islam terletak pada konsep Islam sebagai agama yang mengandung sejarah. Hal ini dibuktikan dengan adanya perhatian orang Arab terhadap peristiwa yang berkaitan dengan politik kesukuan pada masa sebelum masuknya Islam. Adapun peristiwa pada masa lalu ketika itu disampaikan secara lisan.(Abdulah, Taufik :1985 : 56). Biasanya didaerah yang menjadi taklukan Islam pada abad ke-17 seperti Persia dan Bizantium telah ditemukan tradisi Historiografi yang sudah maju, walaupun tidak mengalami perkembangan yang pesat. Adanya daerah kekuasaan Islam menimbulkan adanya kontak secara pribadi dengan para cendikiawan Islam, ataupun bagi orang yang baru memeluk Islam. Kondisi seperti inilah yang kemudian mendorong diadakan penulisan.(Abdulah, Taufik :1985 : 56). Bukti dari keberadaan para Al Khulafaur’ Rasyidun dengan berbagai sejarah ekspansinya, maka dapat memperkuat sejarah yang menunjukan bahwa Hegemoni Islam telah berhasil menyebar ke beberapa wilayah yang ada di dunia ini.
Keberadaan Nabi Muhammad adalah puncak dari pelaksanaan proses sejarah yang dimulai dengan terciptanya alam dunia ini. Hal ini karena Nabi Muhammad ialah Nabi terakhir dalam ketentuan Allah yang diramalkan dengan jelas. Menurut Taufik Abdulah dan Abdurrachman Surjomihardjo, Nabi Muhammad adalah tokoh pembaharuan sosial agama yang melaksanakan kenabian dalam memberikan tuntutan bagi masa depan. Sehingga keberadaan Nabi Muhammad dianggap telah menyediakan kerangka bagi wadah sejarah agar mempermudah Sejarawan melakukan penafsiran. Uraian diatas ini juga diperkuat oleh adanya buku Syalabi yang makin memperkuat kedudukan Nabi Muhammad dalam sejarah Islam. Keturunan Quraisy yang kelak menjadi pemimpin ini memang tidak dapat disingkirkan dalam penulisan Historiografi Islam. Asal- usul dan sejarah keluarganya kebanyakan ditemui dalam karya-karya Islam.
Sejarah mengenai peristiwa masa lalu tentunya berperan bagi perkembangan peradaban Islam. Adanya lembaga politik, hukum, agama, dan ilmiah serta ide moral dan nilai dianggap memiliki wewenang mutlak terhadap peristiwa yang terjadi pada permulaan Islam. Dengan adanya kesadaran sejarah maka mendorong dilaksanakan penelitian dan penulisan. Hal ini tentunya sangat berkaitan dengan kebenaran sejarah mengenai peristiwanya. Penulisan Historiografi Islam tidak cukup dengan adanya motivasi saja. Hal ini karena didalam pelaksanaan penulisan haruslah menempuh berbagai proses yang tidak mudah untuk ditelusuri. Adanya berbagai kesalahan teknis tentunya sangat berperan terhadap kredibilitas dari penulisan saat itu. Misalnya saja sumber lisan yang diperoleh, tentunya bisa benar dan bisa saja tidak benar informasinya. Diperkirakan adanya penggunaan metode penyampaian lisan (oral transmission) dengan sebuah pelapor catatan yang bisa saja tak terpublikasikan saat itu. Hal ini karena tidak ada kemungkinan publikasi karya bahasa Arab pada akhir abad ke-17. Hanya saja adanya penggunaan kertas pada kira-kira 750, atau permulaan Dinasti Abbasiah mendorong adanya penulisan terutama disekitar kawasan Laut Tengah. Walaupun pada kenyataannya karya saat itu hampir seluruhnya tidak beredar luas, dan hanya sedikit yang bisa disebut sebagai karya Sejarah.(Abdulah, Taufik :1985 : 57)
Kondisi politik bangsa Arab yang identik dengan pergantian kekuasaan membuat sebagian besar karya sejarah Islam banyak yang hilang saat itu. Misalnya saja karya-karya yang berkembang pada masa kekuasaan Umayyah (660-750). Apalagi ketika itu belum diciptakannya penerbitan serta keberadaan bahan tulis yang tidak tahan lama, sehingga dapat dikatakan sebagai faktor musnahnya karya-karya saat itu.(Abdulah, Taufik :1985 : 57)
Urwah b. az-Zubyar, sekitar 650-711, merupakan seorang sarjana muslim yang berjasa melakukan penulisan buku berjudul “Peperangan Oleh Nabi”. Setelah beliau maka terdapat Al-Zuhri (570-740) yang membuat sebuah silsilah bangsa. Adapun faktor lain yang membuat Zuhri melakukan penulisan tentunya memiliki kepentingan pribadi masa kekuasaan khalifah. Selain itu karya otoritas ketiga yang ada pada awal permulaan Islam terdapat pada karya Musa b. Uqbah (758/759), dimana karya musa tidak seluruhnya sejarah karena bentuknya adalah fragment singkat. Namun demikian adanya biografi Nabi (Sirah) oleh Ibn Ishaq (704-767) merupakan suatu karya sejarah yang dianggap tua dan terpelihara, bahkan pada perkembangan selanjutnya mengalami perbaikan.(Abdulah, Taufik :1985 : 58)
Adapun karya Ishaq berisikan peristiwa yang erat kaitannya dengan masa sebelum masuknya Islam. Dimana kehidupan Nabi saat itu juga dipaparkan dengan sangat rinci. Sehingga Ishaq dapat dikatakan sebagai pengarang yang berjasa terhadap khalifah. Sehingga dengan adanya bukti sejarah yang ditemukan, kita dapat menarik kesimpulan mengenai penulisan sejarah sekitar tahun 700 yang fokus terhadap kehidupan Nabi Muhammad yang saat itu mulai mengisi kebutuhan sosial, politik, dan agama Islam. Selain itu diduga bahwa adanya dasar dalam penulisan sejarah, pada tingkat tertentu sudah ada saat itu.(Abdulah, Taufik :1985 : 58).

2. Bentuk dan Isi Karya Sejarah
Bentuk penulisan karya sejarah Islam tentunya tidak akan terlepas pada bentuk yang dikembangkan sejak awal. Pada tradisi Arab sebelum masuknya Islam sangat menekankan unsur “fakta” konkret dalam sejarah. Hal ini tentunya terlepas dari pengaruh lingkungan dan diusahakan terhindar dai pengaruh berfikir manusia saat itu. Hal ini merupakan bentuk dasar dari adanya karya-karya sejarah Islam. Walaupun adanya berbagai macam perwatakan dan unsur, namun dalam penulisan sebab dan akibat sangat diutamakan dalam pemaparan. Kebenaran sejarah saat itu disamakan dengan kebenaran agama yang terjamin kejujurannya.(Abdulah, Taufik :1985 : 58). Orang-orang yang menyampaikan informasi secara berantai saat itu (rangkaian pemberi berita atau isnand) dianggap sebagai orang-orang yang jujur. Pada kenyataannya tidak semua sejarawan menggunakan orang-orang penyampai berita ini, namun konsep keberadaan “fakta” saat itu merupakan hal yang sangat ditunjang. Adanya pengaruh dari konsep ini terlihat pada seluruh karya Islam yang dilukiskan sebagai peristiwa, episode, terlepas dari panjang, terperinci atau kemampuan penggambaran episode sesorang.(Abdulah, Taufik :1985 : 58).

3. Kronik
Adanya penulisan sejarah tentunya akan mengalami perkembangan. Begitupula hal nya dalam penyusunan karya sejarah dimana data yang dihimpun akan selalu bertambah. Keadaan ini tentunya sangat bermanfaat dalam penetapan dinasti sesuai dengan urutan penguasa dan tahun-tahun kejadiannya. (Abdulah, Taufik :1985 : 59). Adanya dinasti seperti pergantian kekhalifahan tentunya juga akan menunjukan manfaat dari historiografi dalam hal publikasi untuk menunjukan proses dan rentang waktu peristiwa. Adanya masa hijrah sekitar tahun 638, akan memberikan keuntungan bagi sejarawan muslim. Hal ini tentunya akan mempermudah penyusunan kronologi yang sudah tidak diragukan lagi untuk digunakan. Dengan adanya tahun dan waktu yang ditentukan ketetapannya, maka akan memudahkan untuk menghubungkan peristiwa lain seperti dengan penyesuaian masa kekuasaan. Hal ini digunakan untuk menyatukan adanya episode yang terpecah-pecah. Apabila cara ini dilakukan secara sistematis dengan menggunakan bentuk tambahan (suplemen) yang disebut “dyal” (ekor), maka adanya kekeliruan akan sangat jarang untuk ditemui, meskipun laporan peristiwa yang ada memakan waktu bertahun-tahun.(Abdulah, Taufik :1985 : 59).
Cara diatas dapat dikatakan sebagai suatu bentuk penyambungan atau pengulangan bahan- bahan pada masa lalu yang diuraikan dengan penyingkatan yang terperinci, terutama jika mendekati masa penulisan karya itu sendiri. Selain itu biasanya para pengarang akan memberikan tanggal, bulan dan hari yang sesuai dengan peristiwa, bahkan berita-berita biasa. Karya khalifah b. Khayyat dalam bahasa Arab, pada awal abad-9 merupakan karya sejarah (kronik) tertua. Selain itu karya Tabari (923), merupakan karya standar yang terdiri dari beberapa historiografi kronik dan kemudian akan mempengaruhi arah penulisan selanjutnya.(Abdulah, Taufik :1985 : 59).

4. Biografi
Biografi merupakan salah satu dari bagian studi yang dikembangkan oleh sejarawan muslim. Di dalam biografi bukan hanya fakta mengenai sejarah manusia dan tindakan-tindakannya saja yang dikemukakan, akan tetapi adanya penekanan penulisan sejarah Islam pada awal permulaan juga ikut dipaparkan. Dimana karya sejarah saat itu sangatlah mementingkan keberadaan tokoh-tokoh besar, seperti Muhammad dan situasi yang menggambarkan Islam masa dulu. Walau demikian, saat itu juga diperhatikan mengenai penyelidikan kehidupan orang-orang yang memiliki kaitan dengan hukum dan agama Islam, serta mengetahui tanggal lahir dan wafat mereka, hubungan dengan daerah, guru, pengikut, sifat, ahlak, karya, dan kegiatan mereka.(Abdulah, Taufik :1985 : 60).
Adanya individu yang dianggap berpotensi untuk ditulis, maka akan menempatkan biografi untuk menjadi suatu karya yang besar, walau harus menggunakan tema yang sama. Bigrafi bentuknya singkat dan permulaannya berupa bentuk riwayat hidup dari tokoh terkemuka. Biasanya biografi menyangkut orang dari kalangan cendekiawan tertentu yang dikumpulkan di dalam karya khusus. Sedangkan bagi biografi yang mengutamakan orientasi pada agama tentunya akan menjadikan biografi ulama sebagai bagian terbesar dari historiografi lokal.(Abdulah, Taufik :1985 : 60).
Dalam memudahkan referensi, biografi disusun dalam kelompok kelas yang disebut “tabaqah”. Adanya karya ini mencakup mengenai orang yang wafat dalam waktu bersamaan. Hal ini merupakan cara yang kaku dalam memeuhi kebutuhan ulama untuk menguji keaslian dan kebenaran dari rangkaian orang-orang yang meriwayatkan (transmitter). (Abdulah, Taufik :1985 : 60). adanya perkembangan biografi, maka akan dituntut untuk dilakukan penyusunan sesuai dengan abjad. Hal ini telah dijadikan sebagai metode yang diutamakan dalam biografi sejak abad ke-10. Hal yang perlu untuk ditegaskan bahwa adanya orang dari golongan bawah yang bukan cendikiawan, maka tidak akan dimuat di dalam biografi. Adanya informasi dan fakta yang tidak tersusun akan menyebabkan bahan-bahan ini hilang dan sulit ditemukan. Apabila para sejarawan tidak mengumpulkan data yang berantakan tersebut, maka biografi seperti karya Yaqut (1229), yang berjudul Irshad- al-arib ila ma’rifat al-adib, dan ahli-ahli kedokteran yang dikimpulkan oleh Abi Usaybiah (1270) dalam karya sejarah kedokteran yang berjudul “ Ujun al-anba;fi tabaqat al-atibba, dan biografi tokoh terkemukan yang ditulis oleh Ibn Khalikan (1282), berjudul wafayat al-a’yan.(Abdulah, Taufik :1985 : 60)

5. Sejarah Umum
Di dalam karya historiografi Islam, bahan mentah yang banyak sekali digunakan adalah sejarah yang berkaitan dengan politik yang terbatas pada administrasi dan tindakan militer yang didilakukan oleh para penguasa saat itu. Kita telah ketahui, bahwa banyak sekali peristiwa sejarah yang berkaitan dengan peristiwa tersebut dan pada permulaan awal abad ke-9 sudah banyak sekali buku-buku karya yang ditemukan. Adapun buku tersebut berkaitan dengan arti politik dan peristiwa khusus. (Abdulah, Taufik :1985 : 61).
Adanya perkembangan sejarah dunia atau sejak kedatangan Islam maka telah menunjukan tingkatan yang dapat dikatakan cukup berhasil. Adanya karya yang bersifat universal dalam pengertian Islam, mampu untuk memasukan informasi maupun data yang lebih luas. Hal ini bisa terlihat dengan data yang diperoleh dari masa-masa sebelum Islam dan sebagian besar tidak menyangkut sejarah non-Islam, walaupun diantaranya menyangkut masalah mengenai Islam.(Abdulah, Taufik :1985 : 61)
Adanya asimilasi dengan kebudayaan Hellenisme tentunya mampu untuk memperluas ruang lingkup Historiografi. Pada akhir abad kesembilan, adanya sejarah politik yang dikaitkan dengan pemikiran mulai membicarakan berbagai gejala peradaban yang dikenal. Hal ini tentunya melahirkan karya besar seperti karya Ya’kubi dan rangkaian publikasi oleh al-Mas’udi (945/946). Selain itu ada karya Muruj az-Zahab yang mempu mempengaruhi karya-karya yang terbit sesudahnya. (Abdulah, Taufik :1985 : 61).
Adanya informasi asing dalam penelitian ilmiah tidak membuat penyelidikan yang secara sistematis tetap berjalan. Hal ini menimbulkan perhatian terhadap dunia modern atau setengah modern dari dunia non-Islam masih terbatas. Dibandingkan dengan sejarah Islam, maka referensi mengenai peristiwa yang ada diluar Islam sangat sedikit sekali ditemui karyanya. Al-Mas’udi misalnya memasukan daftar raja-raja Eropa (lihat Maqbul Ahmad 1960,pp.7-10). Adanya penulis asing biasanya juga melakukan penulisan peristiwa yang terjadi pada arena internasional. Adanya sejarawan pada masa Perang Salib yang menyadari bahwa terdapat perbedaan budaya dan politik yang timbul, tetapi dalam analisa politik dan militer, mereka tidak berani untuk keluar bergerak diluar batas Islam. Di Asia Tengah, adanya susasana yang diciptakan oleh Kerajaan Mongol mampu untuk menghadirkan karya sejarawan Rashid ad-Din Fadlallah (1318).(Abdulah, Taufik :1985 : 61)
Selain itu adanya karya Sejarah Umum (Jami’at-tawarikh) yang ditulis dalam bahasa Persia dapat dijadikan sebagai karya sejarah yang universal. Pada umumnya juga Historiografi lokal yang ada dikota dan daerah-daerah juga melakukan pengembangan dengan yang menekankan pada sejarah politik dan agama, begitujuga mengenai uraian topografi dan data-data kepurbakalaan. (Abdulah, Taufik :1985 : 62). Sedangkan data mengenai kehidupan ekonomi, sosial, dan keuangan merupakan bentuk pengamatan yang sifatnya sambilan, sehingga dalam penulisan sejarah informasi demikian tidaklah banyak untuk ditulis.(Abdulah, Taufik :1985 : 62). Adanya sebagian kecil karya sejarawan yang bersifat kronik telah menunjukan kita mengenai pandangan kehidupan yang ada diperkotaan (urban) seperti kejahatan, peristiwa bunuh diri, inflasi yang melanda, serta masalah sosial lainnya.(Abdulah, Taufik :1985 : 62)

6. Para Sejarawan
Karya historiografi Islam ahli adalah karya dari sarjana yang terdidik ilmu agama, kegiatan penulisan sejarah telihat pada Bukhari (870), ia merupakan pengumpul hadis (sahih) yang berasal dari Nabi. Selain itu adanya biografi tokoh agama dengan penamaan sejarah membuat dirinya yang dalam kesadaran Islam terbentuk menjadi sejarawan. Sejak abad kesebelas dan seterusnya, banyak sarjana sejarawan yang memangku jabatan di pengadilan (hukum), administrasi politik pada lapangan sipil, madrasah. Secara keseluruhannya sejarawan ini mengandalkan pengembangan agama. (Abdulah, Taufik :1985 : 62).

A. Sejarawan Istana
Di negeri Islam yang berada dilingkungan ambisi penguasa, maka sejarah adalah ilmu istana “par excellence”. Hal ini menunjukan bahwa penghuni istana yang mendampingi raja, para menteri, guru-guru (pengajar) keluarga raja, dianggap mengetahui sejarah. Biasanya Khalifah sultan akan memerintah pejabat untuk menyusun sejarah dinasti, biasanya sejarah dibuat untuk persembahan kepada raja. Dengan demikian, maka kedudukan sejarawan profesional akan mendapat tempat yang terpenting di Istana. Misalnya pada dinasti sebelum Persia dan Ottoman telah disediakan fasilitas untuk melakukan studi sejarah. Biasanya “sejarawan istana“ ini lebih mengutamakan usaha individu. Hal ini karena sejarawan akan menghasilkan karangan yang tentunya akan mendatangkan sanjungan bagi diri pribadi. Sehingga dalam pengertian lain akan sangat sulit mengenal adanya batas historiografi istana yang identik terhadap peristiwa sebenarnya. (Abdulah, Taufik :1985 : 63)
Adapun jumlah sejarawan istana ini tidaklah banyak. Pada akhir abad kesepuluh terdapat sejarawan yang memiliki pengetahuan mendalam mengenai politik, ilmu filsafat dan ilmu nonagama. Sejarawan tersebut misalnya Mishkawayh (1030), dan Hilal as-Sabi (1036). Mutu dan kualitas dari karya sejarawan ini tentunya berasal dari pandangan mereka tentang sejarah. Karya Imad ad-Din al- Isfahani (1201) adalah karya memoar sejarah terbaik, karya ini dibuat oleh pejabat tinggi dengan menggunakan dokumen dan buku harian. Selain itu karya yang berjudul Barq ash’shabi patutlah mendapat penghargaan sebagai karya besar historiografi diplomatis dalam Islam. (Abdulah, Taufik :1985 : 63)

B. Sejarawan Amatir
Imad al- Isfahani dan para penguasa yang menulis sejarah amatir dapatlah dikatakan sebagai sejarawan amatir. Hal ini karena karya yang dihasilkan sebagian besarnya adalah silsilah dari keturunan Ali. Hal ini karena jarang ditemukan karya sejarah yang ditulis berdasarkan rasa cinta dan kesadaran akan arti sejarah untuk memelihara catatan historis. (Abdulah, Taufik :1985 : 63)

C. Sejarawan Profesional
Adanya karya sejarah yang laku terjual dan ditemukan ditoko-toko buku merupakan fenomena yang luar biasa. Keadaan ini tidaklah cukup untuk mendatangkan dugaan dari luar mengenai hasil penjualan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup pengarang. Sejarawan profesional hampir tidak ada dalam lingkungan abad pertengahan (Abdulah, Taufik :1985 : 63).
Sejarah tidak termasuk dalam kurikulum madrasah, walaupun terkadang pelajaran ini diberikan pengajar yang telah menerima bayaran dalam pelajaran lain. Pada umumnya banyak orang yang ingin mengabdikan diri untuk menyusun karya sejarah. Biasanya orang-orang ini ingin dikenal dalam tradisi Islam sebagai sejarawan. Adapun tokohnya seperti al-Mas’udi dan pada masa kekuasaan Mamluk di Mesir, maka perhatian sejarah tertuju kepada pengarang seperti al-Maqrizi (1442) dan banyak lagi lainnya. (Abdulah, Taufik :1985 : 63)

7. Tujuan dan Metodologi Historiografi Islam
Sejarawan muslim mempunyai kebiasaan untuk memperkenalkan karyanya dengan pernyataan yang berisi tujuan dari penulisan sejarah (misalnya pernyataan yang dikumpulkan oleh as- Shakhawi). (Abdulah, Taufik :1985 : 64). Pada umumnya gagasan mengenai pengertian tersebut adalah suatu ukuran yang standar, walaupun didalamnya tidak memuat hubungan individu. Adapun pernyataan dan tujuan adalah pengakuan yang keabsahannya tidak dapat dibantah. (Abdulah, Taufik :1985 : 64). Dalam hal ini sejarah dianggap berperan untuk menghasilkan contoh-contoh baik yang bersifat positif maupun negatif. Point terpenting dari sejarah adalah pelajaran mengenai politik dan kepemimpinan untuk mengatur pemerintahan. Sejarah terkadang menuntut pola berfikir untuk santai setelah menyelesaikan tugas ilmiah secara kompleks. Artinya sejarah itu sifatnya tenang apabila telah berhasil menyelesaikan penelitian yang benar-benar ilmiah atau sebagaimana peristiwanya terjadi. Sejarah baru bisa untuk berdiam diri ketika kebenaran berhasil untuk diungkapkan. Dalam hal ini sejarah dapat disebut sebagai petunjuk (tuntunan). Sehingga wajar saja kalau adanya pengawal atau pemuka agama yang telah berhasil membuktikan kebenaran Islam dan mengungkapkan pandangan sehat mengenai dunia. Hal diatas diungkapkan karena pada masa ini banyak sekali waktu yang terbuang hanya untuk membahas soal keduniawian (sekuler). Hal ini erat kaitannya dengan pengertian historiografi sebagai bagian dari peradaban Islam. (Abdulah, Taufik :1985 : 64) .
Adanya gagasan sejarah sebagai senjata politik dalam memperjuangkan ideologi dan politik adalah suatu hal yang tidak ditangani oleh sejarawan muslim secara terbuka dan merata. Sejarawan ini sadar bahwa karya yang ditulis sering digunakan untuk mengangkat posisi seseorang, atau memperkokoh kedudukan dinasti yang sedang berkuasa. Adanya penelitian modern berhasil membuktikan bahwa kepentingan politik terkadang membuat adanya manipulasi terhadap data atau bukti sejarah. Keadaan ini tidaklah membuat sejarah muslim untuk berganti haluan, karena pada umumnya mereka tetap merasa bahwa keberadaan nya sebagai sejarawan adalah pelindung, penerus (transmitter) dari fakta yang tidak dapat diubah-ubah, atau ditafsirkan. (Abdulah, Taufik :1985 : 65)
Kegiatan sejarah terbatas pada melaporkan, menyingkatkan, menghimpun bahan sejarah, dan menceritakan kembali sumber-sumber yang ada. (Abdulah, Taufik :1985 : 65). Adapun pandangan ini ditentukan oleh metode penelitian sejarah. Tugas utama ahli sejarah adalah menyusun peristiwa yang benar terjadi dan pokok masalah yang dihadapi. Adapun tujuannya untuk menyelidiki kebenaran informasi yang diperoleh baik secara lisan maupun secara tertulis. Adapun kebenaran adalah cara untuk mengecek dugaan mengenai informasi yang diperoleh oleh seorang ahli. Selain itu pengamatan pribadi dalam pengertian sejarah kontemporer adalah dasar dari pengetahuan sejarah yang dijadikan sebagai cara ampuh untuk mengecek kebenaran sejarah. Selain itu, sistem yang lebih lengkap yang dikembangkan oleh sarjana hadis (para ulama), yaitu cara untuk menguji keaslian dan kebenaran hadis yang dapat diterapkan untuk penelitian sejarah. (Abdulah, Taufik :1985 : 65).
Berdasarkan keperluan, sejarah tertulis telah memberikan suatu wewenang pembuktian (evindential authority), penelitian arsip dan studi prasasti (inskripsi), mata uang, dan bukti-bukti sejarah yang hampir sporadis digunakan. Berkaitan dengan metodologi historiografi, maka pada abad pertengahan dapat dilihat karya Muhammad b. Ibrahim al-Iji seorang sarjana Persia. Adapun tulisannya dibuat pada tahun 1381-1382, karyanya adalah karya tertua metodologi. Pada tingkat teori yang kurang lengkap ialah karya komprehensif mengenai historiografi Islam, metode, masalah-masalahnya dan sejarah dari al-Kafiyaji (1474), yang menulis pada tahun 1463 di Mesir, dan sesudahnya adalah as-Sakhawi (d.1497), yang menulis pada tahun 1492. (Abdulah, Taufik :1985 : 66).

8. Filsafat dan Sosiologi Islam
Di dalam metodologi, maka pandangan sejarah sejarawan telah dipaparkan. Sejarawan berkeyakinan bahwa sejarah adalah media yang dijadikan pedoman agar manusia dapat memperbaiki hidupnya sekaligus mempersiapkan hari perhitungan yang nantinya tidak dapat dielakan. Dengan adanya Nabi Muhammad di dalam agama Islam, maka tujuan sejarah akhirnya dapat dipahami sebagai suatu kenyataan. Artinya “ bahwa Alquran yang dijadikan wahyu kepada Nabi Muhammad adalah suatu kitab yang berisi mengenai ajaran-ajaran kebaikan yang didalamnya terdapat kebenaran mengenai kehidupan didunia maupun di akherat kelak”.
Dengan kemapuan manusia, maka sejarah akhirnya dapat dijadikan sebagai pertanyaan untuk menghadirkan kehidupan individu yang baik di masyarakat atau secara agamanya. Dalam melakukan penilaian terhadap penguasa, maka sejarawan akan memberikan sudut pandangnya berdasarkan kepatuhan (ketaatan), atau sumber informasi yang diperoleh dengan dasar norma-norma Islam. Hal ini karena pada umumnya sejarawan adalah manusia biasa yang tidak mempunyai mekanisme dalam memberikan penilaian dosa dan ganjaran. Namun demikian bentuk kepatuhan dan norma Islam dapatlah djadikan suatu landasan untuk memberika penilaian. Adanya keabsahan (validity) teologi Islam tidak semua dipahami oleh sejarawan. Hal ini karena ada sejarawan yang memahami sejarah sebagai gejala sosial belaka. Sehingga cara seperti ini biasanya dianggap bertentangan dengan Islam dan di Curigai. (Abdulah, Taufik :1985 : 66).
Di dalam karya Miskhwayh yang berjudul “Pengalaman Bangsa-bangsa” terdapat penjelasan mengenai peristiwa yang terjadi di dunia ini terlepas dari adanya pengaruh kekuatan diluar manusia (super natural) , hal ini karena peristiwa yang terjadi dianggap ada berkaitan dengan Nabi, sehingga memberikan pengalaman bermanfaat bagi yang berminat mempelajari sejarah. Adanya Ibnu Khaldun dari Afrika (1406) yang telah melakukan penulisan pada tahun 1377, adapun isi pemaparan Khaldun lahir dari adanya sudut pandang terhadap manusia belaka. Pada pengantar (Mukaddimah) bukunya yang berjudul " Kitab al-ibar”, Khaldun menguraikan mengenai kekuatan materi dan psikologi secara terperinci. Defenisi sejarah yang dihasilkan adalah sudut Cyclic motion gerak lambat maju kedepan secara kontinu, baik yang berjalan maju kedepan atau kemunduran dalam kerangka himpunan manusia dalam berbagai bentuknya. (Abdulah, Taufik :1985 : 67).



9. Historiografi Islam Kontemporer
Bentuk penulisan sejarah Islam tentunya adalah bentuk yang akan terus bertahan hingga saat ini, terutama pada dunia Islam yang tertutup rapat. Adanya goncangan pada dunia Islam terjadi ketika kampanye Militer Napoleon di Mesir. Ketika itu bentuk kronik adalah karya sejarah yang masih muda dihasilkan, misalnya saja karya Al-Jabarti (1826). Dengan adanya terjemahan barat pada abad ke-19 membuat minat terbatas dikalangan Islam, khsususnya cendikiawan. Adanya studi mengenai sejarah dunia yang tidak langsung berkaitan dengan negeri Islam, membuat minat sejarawan Islam menjadi terbatas terhadap karya-karya nonIslam. Pada awal abad ke-20 terdapat Perang Dunia kedua yang berpengaruh terhadap kehidupan muslim yang mendapat perhatian di negeri Islam. Anggapan ini bisa lahir karena adanya pertentangan suku yang terjadi antara golongan Islam sebelum pembagian India dan kekeliruan yang dilakukan pengajar sejarah disekolah, hal ini harusnya diadakan koreksi dari para sejarawan (lihat Nadvi, dalam Philips 1961, hal 493). (Abdulah, Taufik :1985 : 68).
Adanya kelompok yang beranggapan bahwa sejarah Islam tidaklah dapat memberi bimbingan untuk menyelesaikan masalah, sehingga akhirnya diabaikan. Perasaan umat adalah sarana yang digunakan untuk membangkitkan studi kejayaan Islam masa lampau. Sehingga dapat dijadikan sebagai sumber utama yang juga berperan untuk membangun moral bangsa dan memperkokoh aspirasi nasionalis. Dengan demikian maka akan lahirlah karya-karya dari Husayn Haykal dan Mahmud Abbas al-Ikkad. Film , dan drama juga dimanfaatkan secara efektif untuk tema sejarah (lihat, Landau, 1958, hal 114 dst, 198). (Abdulah, Taufik :1985 : 67).
Akhir-akhir ini banyak sejarawan Islam yang mendapat pendidikan barat secara ilmiah dan metodologi, telah menerbitkan karya sejarah penting, baik biografi, sosial, dan ekonomi tentang sejarah Islam dimasa lampau. Adanya studi arsip di Turki menunjukan bahan sejarah yang tersimpan. Publikasi teks sejarah yang dilakukan sejak abad pertengahan tetap menjaga standar normal dalam editing. Dengan kejayaan Islam pada masa lampau dianggap sebagai ilham ideologi politik dalam gerakan yang ada pada sejarah. Hal ini memiliki pengaruh yang besar antara tahnu 1920 sampai tahun 1945. Sampai saat ini penggalian purbakala, pengawetan (conservation), dan studi peninggalan purbakala dari masa sebelum Islam dan masuknya Islam dengan baik dikembangkan dimana-mana. (Abdulah, Taufik :1985 : 68).















SIMPULAN
Historiografi Islam merupakan hasil penulisan sejarah yang identik dengan Islam. Ekspansi dan kejayaan bangsa Islam dimasa lalu memiliki peranan terhadap perkembangan Historiografi Islam. Biografi dan Kronik adalah contoh dari bentuk Historiografi Islam. Pada penulisan sejarah Islam golongan bangsawan, cendikiawan dan agama sangat diutamakan. Misalnya saja penulisan mengenai Nabi Muhammad dan kehidupannya. Fenomena ini, tidak terlepas dari lingkungan budaya yang ada. Hal ini karena ketika itu bangsa Arab memainkan peranan politik kesukuan dan kejayaan bangsa dibawah Hegemoni Quraysi.
Peristiwa yang terjadi pada masa sebelum dan sesudah masuknya Islam tentunya akan mengalami perkembangan. Hal ini bisa dilihat dari keberadaan ruang lingkup yang meluas dan bertambahnya data. Dalam hal ini penulisan yang akurat tentunya akan menghadapi tantangan untuk bisa menentukan kronologis peristiwa agar kebenarannya dapat dipercaya. Berdasarkan ikatan budaya masyarakatnya, Historiografi Islam lebih mengutamakan agama, politik, dan kepurbakalaan dibanding dengan kehidupan sosial, ekonomi, dan keuangan. Hanya saja adanya karya sejarah Islam yang berupa kronik tentunya akan memberikan pemaparan mengenai masalah sosial, inflasi dan sebagainya.
Adanya sejarawan Islam sangatlah berperan dalam meneruskan atau mengabadikan kisah sejarah masa lalu dan masa sekarang Islam. Dalam perkembangannya sejarawan terdiri atas : sejarawan istana, sejarawan profesional, dan sejarawan amatir. Hal yang menjadi pembeda ketiga jenis sejarawan ini terletak pada bentuk penulisan dan tujuan. Sejarawan istana tentunya akan membuat legitimasi atas dirinya agar mendapat tempat dihati penguasa, sejarawan amatir akan mengabaikan sejarah semestinya, dan sejarah professional tentunya akan bekerja sesuai bayaran yang diterima.
Berdasarkan metodologi sejarah itu dibuat untuk menyatakan tujuannya. Sejarah itu sifatnya ilmiah. Hal ini terlihat dengan adanya metode untuk menguji kebenaran, adapun yang dilakukan dengan mengecek sumber tertulis maupun lisan. Secara filsafat sejarah diharapkan mampu untuk mengarahkan manusia pada kehidupan yang lebih baik dan secara sosiologinya terdapat sejarawan yang hanya mempelajari gejala sosial masyarakat saja. Adanya terjemahan barat membuat sejarawan Islam membatasi minatnya. Hal ini karena kejayaan Islam pada masa lampau dianggap sebagai ilham ideologi politik dalam gerakan yang ada pada sejarah. Adanya pandangan bangsa Islam yang sifatnya mendominasi ini tentunya mendapat pengaruh dari jiwa zaman saat itu. Hal ini karena dogma yang berisi pada kebenaran Alquran dijadikan oleh bangsa Arab masa lampau sebagai pedoman untuk melegitimasi kedudukannya. Pandangan fanatis bangsa Arab ini membuat mereka merasa sebagai bangsa yang paling utama dan paling baik di dunia. Pasca Perang Dunia perhatian terhadap penulisan Historiografi Islam mulai mendapat perhatian kembali. Adanya kesalahan dalam memahami sejarah Islam diduga karena informasi yang diberikan pengajar tidak sesuai mestinya. Dengan keberadaan studi arsip di Turki dapatlah dijadikan bukti bahwa bahan sejarah itu masih ada hingga saat sekarang ini.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik (ed). 1985. Ilmu Sejarah dan Historiografi.
Jakarta : Gramedia
Azra, Azyumardi. 2004. Jaringan Ulama; Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII : Jakarta : Prenada Media
Koningsveld. 1989. Hurgronje Snouck Dan Islam
Bandung : Pustaka
Majid, Dien. 2008. Berhaji Di Masa Kolonial.
Jakarta : Sejahtera
Syalabi. 2000. Sejarah Kebudayaan Islam 1.
Jakarta : Al Husna Zikra
Syalabi. 2000. Sejarah Kebudayaan Islam 2.
Jakarta : Al Husna Zikra
Syalabi. 2000. Sejarah Kebudayaan Islam 3.
Jakarta : Al Husna Zikra
Steenbrink, Karel. 1995. Kawan Dalam Pertikaian Kaum Kolonial Belanda
Dan Islam Di Indonesia (1596-1942). Bandung : Mizan

Read More >>